Antara SBI dan SPN


Oleh TAUFIK HIDAYAT
PADA beberapa waktu yang lalu Bank Indonesia telah membuat berbagai kalangan menjadi sangat terkejut dengan lontaran rencana besar yang “terkesan” mendadak untuk menghapus Sertifikat Bank Indonesia (SBI) jangka waktu 3 (tiga) bulan. Keterkejutan tersebut tidak saja dirasakan oleh Menteri Keuangan, tetapi juga dirasakan oleh anggota DPR RI dan bahkan para pengamat ekonomi dan keuangan.
Hal ini di antaranya muncul karena adanya kekhawatiran terjadinya kekosongan instrumen investasi jangka waktu tiga bulan. Oleh karena itu sebagian pihak ada yang berpendapat bahwa penghapusan tersebut seharusnya dilakukan secara bertahap sambil memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk menyiapkan penerbitan Surat Perbendaharaan Negara (SPN). Namun demikian, ada juga sebagian pihak yang tidak mempermasalahkan rencana Bank Indonesia tersebut. Hal ini didasari oleh best practice bahwa pengelolaan utang di pasar uang seharusnya dilakukan oleh pemerintah.
Selama ini SBI jangka waktu tiga bulan digunakan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen untuk melakukan operasi moneter. Langkah ini dilakukan Bank Indonesia guna menjaga stabilitas moneter, yaitu untuk memelihara jumlah peredaran uang di masyarakat pada tingkat yang dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia selaku otoritas moneter. Pada saat ini sebenarnya peranan SBI jangka waktu tiga bulan sebagai alat operasi moneter sudah dirasakan tidak lagi signifikan karena kurang diminati oleh pasar dibandingkan dengan SBI jangka waktu satu bulan.
Per 21 Februari 2006 tercatat bahwa jumlah SBI yang berhasil dilelang oleh Bank Indonesia mencapai besaran Rp 123,6 triliun dengan rincian sebesar Rp 116,5 triliun (94,26%) berupa SBI jangka waktu satu bulan dan sebesar Rp7,1 triliun (5,74%) lainnya dalam bentuk SBI jangka waktu tiga bulan (Bisnis Indonesia, 23/2/2006). Namun demikian sebagai instrumen investasi, SBI jangka waktu tiga bulan masih sangat diharapkan kehadirannya sebagai benchmark tingkat suku bunga jangka waktu tiga bulan.
Industri perbankan dan sektor jasa keuangan secara keseluruhan sangat bergantung kepada SBI tiga bulan sebagai acuan dalam menetapkan tingkat bunga yang akan dikenakan kepada masyarakat (baca: counter rate). Demikian juga sektor pasar modal, khususnya untuk produk obligasi dan instrumen fixed income lainnya juga menjadikan SBI jangka waktu tiga bulan sebagai acuan dalam menetapkan tingkat bunga (coupon). Bahkan dalam pasar modal SBI jangka waktu tiga bulan dapat dijadikan sebagai patokan tingkat bunga yang paling aman (risk free rate). Jika dilihat dari sisi ini saja sangat beralasan mengapa banyak pihak yang merasa “kehilangan” dengan rencana akan dihapuskannya SBI tersebut, walaupun sebenarnya Bank Indonesia juga sudah mengeluarkan BI rate.
Wacana mengenai penghapusan SBI jangka waktu tiga bulan mereda setelah Gubernur Bank Sentral menyatakan akan menunda penghapusan SBI jangka waktu tiga bulan sampai dengan pemerintah telah benar-benar menyiapkan penerbitan Surat Perbendaharaan Negara. Padahal pada sisi lain pemerintah menyatakan bahwa penerbitan SPN merupakan program jangka panjang (Bisnis Indonesia 21/2/2006). Lantas bagaimana kelanjutan dari alternatif pilihan antara penghapusan SBI dan penerbitan SPN, hanya waktu yang akan memberi penjelasan yang pasti.
Karakteristik SPN
SPN merupakan surat utang dengan masa jatuh tempo sampai dengan satu tahun. Sebenarnya sejak beberapa tahun yang lalu pemerintah telah mempunyai kesempatan untuk menerbitkan SPN karena telah diatur dalam UU Surat Utang Negara. Namun demikian karena sifat utangnya yang jangka pendek maka mekanisme penanganannya memang menjadi cukup rumit. Dalam hal ini pemerintah setiap saat dituntut untuk selalu memperhitungkan arus kas (cashflows) penerimaan dan pengeluaran pemerintah sehingga jumlah kebutuhan dana jangka pendek dan juga kewajibannya dapat terpenuhi melalui mekanisme pengeluaran SPN.
Selain itu, departemen keuangan sebagai pengelola utang negara juga perlu untuk mempersiapkan infrastruktur kelembagaan yang secara khusus menangani penyelenggaraan perdagangan SPN. Mudah-mudahan jika nantinya sudah terbentuk lembaga baru di Departemen Keuangan yang secara khusus bertugas untuk menangani manajemen dan pengelolaan utang negara maka harapan agar pemerintah segera merealisasikan penerbitan SPN dapat segera terlaksana.
Bagi pemerintah, penerbitan SPN ini akan sangat bermanfaat bagi keuangan negara karena dapat dijadikan sebagai sumber pembiayaan jangka pendek, seperti halnya untuk melakukan refinancing Surat Utang Negara yang akan jatuh tempo. Selain itu, dalam skala yang lebih luas, maka seperti halnya yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat adalah menjadikannya sebagai salah satu instrumen fiskal dalam pembiayaan belanja negara, terutama pada saat terjadi defisit anggaran. Mengenai kekhawatiran tentang beban bunga yang harus ditanggung oleh pemerintah sebenarnya bukan menjadi masalah yang berarti karena selama ini pun dengan menggunakan SBI sebagai instrumen moneter maka pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia, juga telah mengeluarkan beban serupa. Bagi pemerintah, pengeluaran beban bunga akibat pengalihan instrumen dari SBI ke SPN dapat diibaratkan hanya pengalihan pengeluaran beban dari saku kiri ke saku kanan.
Hingga saat ini memang belum ada gambaran jelas mengenai bagaimana bentuk SPN yang nantinya akan dikeluarkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, mari kita melihat Treasury Bills atau yang biasa dikenal dengan istilah T-Bills (baca: SPN) yang telah dilaksanakan di negara lain.
Seperti halnya surat utang lainnya, T-Bills mempunyai beberapa ciri pokok, yaitu masa jatuh temponya (maturity periode), tingkat bunga, pembayaran kembali nilai pokoknya dan daya jualnya di pasar. Sebagai instrumen surat utang jangka pendek, maka masa jatuh tempo T-Bills adalah berkisar antara satu bulan sampai dengan 12 bulan.
Berhubung tingkat bunga T-Bills dijadikan sebagai benchmark dalam penetapan tingkat bunga di pasar uang maupun pasar modal, maka penentuan tingkat bunganya tidak bersifat stand alone policy, melainkan harus secara akurat dikaitkan dengan kebijakan lain di bidang fiskal maupun moneter. Selain itu juga harus memperhitungkan variabel-variabel ekonomi makro serta perkembangan regional maupun global. Namun demikian, secara empiris penetapan tingkat bunga T-Bills didasarkan pada estimasi tingkat inflasi (expected rate of inflation) yaitu dengan margin tertentu di atas estimasi tingkat inflasi. Jika dengan memperhitungkan tingkat inflasi dan pajak, tingkat pengembalian (return) riil atas T-Bills menjadi sangat rendah. Bahkan berdasarkan data perolehan T-Bills di Amerika Serikat dalam periode 1969-1994 ternyata justru menunjukkan tingkat pengembalian yang negatif, yaitu sebesar minus 1,5%.
Secara teknis pemberian bunga T-Bills kepada para pemegangnya dilakukan melalui pemberian diskon langsung. Hal ini sangat mirip dengan pemberian bunga pada sertifikat deposito. Sebagai ilustrasi, suatu T-Bills yang mempunyai nilai nominal Rp 1 miliar dengan masa jatuh tempo tiga bulan dan dengan tingkat bunga 12,8 persen per tahun, maka harga jual T-Bills tersebut merupakan present value dari nilai nominalnya. Dengan kondisi demikian, harga T-Bills yang harus dibayar oleh investor adalah sebesar Rp 968.992.248. Untuk kepentingan pencatatan, tingkat bunga T-Bills disajikan dalam bentuk discounted rate. Dari ilustrasi di atas maka nilai diskonnya adalah sebesar Rp 31.007.752 sehingga tingkat bunga efektifnya adalah sebesar 3,10 persen per tiga bulan atau sebesar 12,40 persen per tahun.
Penerbitan T-Bills memperoleh jaminan penuh dari pemerintah sehingga para investor mempunyai “kepastian” untuk memperoleh kembali nilai pokok investasinya pada saat jatuh temponya. Karena adanya jaminan pemerintah tersebut instrumen investasi tersebut tergolong dalam kategori yang mempunyai risiko gagal bayar (default) yang sangat kecil, kalau tidak bisa dikatakan sebagai tidak mempunyai risiko. Karena alasan ini pula, maka T-Bills disebut sebagai instrumen investasi yang bersifat risk-free atau default-free.
Seperti halnya SBI, instrumen T-Bills juga ditransaksikan melalui mekanisme lelang. Sedangkan untuk SPN belum ada informasi mengenai mekanisme yang akan dipakai sebagai sarana transaksi. Namun demikian, dengan menilik pengalaman yang dilakukan pemerintah dalam mengeluarkan Surat Utang Negara atau Obligasi Negara selama ini maka dapat diperkirakan bahwa mekanisme lelang akan menjadi pilihan pemerintah dalam menerbitkan SPN.
Berdasarkan pengalaman empiris, T-Bills tergolong sebagai instrumen investasi yang sangat likuid dan mudah untuk ditransaksikan. Karena alasan ini pula mengapa banyak investor, fund manager perusahaan asuransi dan dana pensiun maupun perbankan yang mengalokasikan dana jangka pendeknya dalam bentuk T-Bills. Oleh karena itu, instrumen investasi ini dikelompokkan dalam kategori marketable securities.
Prospek SPN
Rencana peralihan dari SBI jangka waktu tiga bulan kepada SPN pada saatnya tentu akan memperoleh sambutan hangat dari para investor, terutama investor institusi seperti halnya perusahaan-perusahaan asuransi, dana pensiun, fund manager, maupun industri perbankan dan jasa keuangan lainnya. Dengan adanya SPN, para investor akan mempunyai tambahan alternatif instrumen investasi yang dapat dijadikan sebagai pilihan dalam portofolionya. Dengan demikian, dinamika pasar uang maupun pasar modal akan semakin terdorong secara lebih signifikan.
Sebagai instrumen investasi jangka pendek, investor memang “tidak terlalu” berharap memperoleh tingkat pengembalian yang tinggi. Walaupun selain memperoleh tingkat bunga juga kemungkinan memperoleh capital gain dari transaksi di pasar sekunder, tetapi alokasi investasi pada instrumen ini lebih dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas. Hal ini dapat tercermin dari minat investor yang lebih menyukai SBI jangka waktu satu bulan dibandingkan dengan yang mempunyai jatuh tempo tiga bulan.
Bagi para pelaku di pasar modal, SPN sebagai instrumen investasi yang risk free akan sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai benchmark dalam pengukuran tingkat pengembalian (return) portofolionya. Selain itu, sebagai alat pengukuran SPN akan dijadikan sebagai dasar dalam pembentukan Capital Market Line (CML), Security Market Line (SML), sebagai dasar pengukuran tingkat risiko portofolio, sampai kepada dasar bagi transaksi dalam instrumen derivative, baik dalam bentuk put, call, forward maupun futures.

Fenomena Kasus “Orderan”



oleh Ahmad Ali

Guru besar Fakultas Hukum Unhas.

Saya haqqul yaqin, SBY punya niat baik untuk memperbaiki hukum Indonesia. Tetapi niat baik pemerintah memperbaiki dan mereformasi hukum saja belum cukup kalau di tataran implementasi masih saja terus berlangsung dua faktor penghambat bagi perbaikan citra penegakan hukum Indonesia. Pertama, praktik “mafia peradilan”. Kedua, adanya kasus “orderan”.

Mengenai “mafia peradilan”, saya kira tidak perlu lagi saya ulas karena sudah sangat sering dibahas oleh para pakar hukum dan pemerhati hukum lain. Ada fenomena lain yang lolos dari pengamatan sebagian orang, yaitu yang saya juluki fenomena kasus “pesanan” atau “orderan”.

Kasus “pesanan” atau “orderan” itu bisa untuk kepentingan kekuasaan atau politik tertentu, dan bisa juga karena dilandasi dendam atau mungkin juga kedengkian terhadap seseorang. Tujuan utamanya adalah sekadar character assassination terhadap seseorang — biasanya terhadap seorang tokoh.

Kasus “orderan” ini bisa untuk melindungi atau membebaskan seseorang dari jeratan hukum, meski nyata-nyata dia bersalah (secara akal sehat).

Selain itu, bisa juga terjadi sebaliknya, yaitu menjerat seseorang dan mencari-carikan kesalahannya, meski sebenarnya dia tidak bersalah secara yuridis. Mungkin kesalahan yang dilakukannya hanya teknis administratif atau sekadar kesalahan prosedural, tetapi sengaja dipaksakan menjadi kasus pidana — biasanya kasus dugaan korupsi.

Kalau kita berangkat dari adanya lima unsur sistem hukum — struktur, substansi, kultur hukum, profesionalisme, dan komitmen — maka menurut pendapat saya, faktor paling signifikan mengakibatkan masih jauhnya harapan dan kenyataan dalam penegakan hukum tidak terlalu dominan pada substansi (asas-asas hukum, norma-norma hukum, dan aturan-aturan hukum). Faktor paling dominan adalah struktur, kultur hukum, profesionalisme, dan komitmen.

Fenomena “pemaksaan seseorang untuk dibidik dan dijerat menjadi tersangka dalam suatu kasus dugaan korupsi, hanya atas dasar pesanan/order orang tertentu atau kepentingan kekuasaan tertentu” ternyata sering terjadi. Itu tak hanya di pusat kekuasaan di Jakarta, melainkan juga di daerah-daerah tertentu. Fenomenanya sangat kental jika yang terjadi bukan lagi komitmen untuk menegakkan hukum dan keadilan, melainkan sekadar mencari-cari kesalahan. Kalau di sisi yang satu tidak ditemukan “benang merah” untuk menghubungkan seorang sasaran bidik untuk dijadikan tersangka, maka diobrak-abrik lagi sisi-sisi lain yang sebenarnya hubungannya dipaksa-paksakan. Bagi mahasiswa fakultas hukum maupun masyarakat awam, realitas yang sangat memprihatinkan itu tentu merupakan fenomena yang sangat tidak memberi pendidikan hukum.

Lebih mengerikan lagi jika sepak-terjang seorang petinggi hukum diatur oleh rangkaian bisikan sosok-sosok yang merasa diri sebagai “pendekar hukum”, tetapi sama sekali tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum. Syahdan, di suatu daerah, seorang aktivis LSM malah ikut “berkantor” di ruang petinggi hukum. Lebih aneh bin ajaib, karena syahdan dia yang menjadi juru bicara seorang petinggi hukum di berbagai koran lokal, yang seyogianya harus dilakukan “humas resmi” instansi tersebut.

Betapa amburadul-nya proses penegakan hukum jika kebijakan-kebijakan petinggi hukum didominasi oleh hanya seorang “Don Kisot de Lamancha” yang bermimpi menjadi “pendekar hukum” tanpa mendalami hukum secara komprehensif. Dikiranya hukum sekadar membaca suatu undang-undang. Disangkanya untuk memahami secara mendalam masalah pemberantasan korupsi cukup dengan membolak-balik undang-undang yang bertalian dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Itu persepsi yang sangat naif dan mengerdilkan hukum. Hukum bukan sekadar undang-undang.

Agar mampu memahami hukum, seseorang harus belajar ilmu hukum secara sistematis. Mempelajari bukan hanya aturan-aturan hukumnya, melainkan juga norma hukum, asas hukum, dasar filosofinya didalami dalam mata kuliah filsafat hukum dan teori hukum, teori-teori empiris sosiologis, antropologis dan psikologi terhadap hukum.

Sosok yang mengira hukum hanya sekadar perundang-undangan tentu tidak pernah membaca habis konsep-konsep universal dari Lawrence M Friedman, Benjamin N Cardozo, Oliver Wendell Holmes, Donald Black, Charles Sampford, dan lain lain.

Dari sisi paling sempit saja, pasti dia tidak tahu perbedaan kesalahan dalam hukum pidana dengan kesalahan administratif. Bagaimanapun kualitas penafsiran penegak hukum terhadap suatu undang-undang sangat banyak ditentukan oleh luas-sempitnya wawasan intelektualitas keilmuannya di bidang hukum, dengan pemahaman seimbang antara pendekatan legalistis, sosiologis, antropologis, psikologis, dan filosofis.

Sosok-sosok yang bermimpi jadi “pendekar hukum” (padahal di belakangnya menumpang “pesanan” berlatar belakang uang ataupun like or dislike pada seseorang), mungkin tidak pernah tahu adanya asas hukum acara pidana yang universal. Misalnya, lebih baik membebaskan 100 orang yang bersalah ketimbang memidana seorang yang tidak bersalah. Makna asas ini, larangan bagi penegak hukum untuk sekadar mencari-cari kesalahan, apalagi yang berdampak character assassination pada seseorang.

Perbaikan proses penegakan hukum kita sangat berdampak terhadap perekonomian bangsa karena secara tidak langsung turut mempengaruhi kepercayaan investor asing maupun masyarakat Indonesia sendiri terhadap law enforcement. Gordon Heward pernah mengemukakan, Justice should not only be done, but should manifestly and undoubtedly be seen to be done (Keadilan bukan hanya harus ditegakkan, tetapi juga harus dapat dilihat, dirasakan, dan dipahami oleh masyarakat bahwa dia memang telah ditegakkan).***

Agenda Tersisa Pasca-BPPN


HARI ini, Jumat (27/2/2004), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) bubar. Mandat lima tahun yang diembannya usai sudah. Soal apakah dalam kurun waktu itu semua tugas BPPN diselesaikan atau tidak, itu soal lain. Keppres No 27/1998 memuat salah satu pasal, yang intinya mengatakan bahwa apabila pemerintah merasa tugas-tugas belum selesai, maka lembaga ini dapat diperpanjang masa tugasnya sesuai kebutuhan. Namun arus besar yang mengemuka tampaknya sudah mengkristal, menghendaki BPPN harus bubar tanpa syarat.
Memang ironis. Keberadaan BPPN semenjak 1998 sampai hari ini banyak dinilai oleh berbagai kalangan (kecuali yang pro-BPPN tentunya) belum mampu melepaskan permasalahan ekonomi dari Indonesia. Badan yang berdiri setelah letter of intent (LoI) IMF tahun 1998 ini mendapat tugas utama menyehatkan perbankan nasional setelah dihajar oleh krisis ekonomi yang bertubi-tubi.
Tetapi, alih-alih menyehatkan perbankan, yang dilakukan lembaga itu tak lebih dari lembaga lelang yang menjual aset-aset negara baik dalam bentuk aset fisik, saham, surat berharga lainnya, kredit dan properti. Lebih ironis lagi. Kebanyakan yang memenangkan program penjualan aset dan divestasi saham bank-bank rekap yang diberada di bawah kelolaan BPPN adalah investor asing. Hal-hal inilah yang seringkali menciptakan sinisme, polemik serta kontroversi di kalangan masyarakat menyikapi sepak terjang BPPN selama ini.
Proses restrukturisasi aset yang dikelola BPPN pun tidak seluruhnya beres. Ambil contoh Texmaco yang kabarnya meraih kredit hampir Rp 30 triliun dari bank BUMN. Setelah direstrukturisasi dan dilelang berkali-kali oleh BPPN, ternyata tidak juga laku ditawarkan ke investor. Sampai-sampai Menneg BUMN Laksamana Sukardi mengatakan Texmaco itu diberi gratis saja tidak ada investor yang mau mengambil. Konon, tidak ada yang bersedia membeli Texmaco di harga 5% dari total kredit sekalipun.
Begitu banyak kredit disalurkan oleh bank BUMN ke kelompok usaha besar yang tidak prudent bahkan nilai jaminannya jauh di bawah nilai kredit yang diberikan. Tak heran, ke-7 bank BUMN itu harus diselamatkan dengan obligasi rekapitalisasi senilai Rp 279,4 triliun atau menyerap 66% dari total obligasi rekapitalisasi yang diterbitkan negara untuk menyelamatkan sistem perbankan. Sementara dari 95 bank bermasalah, 16 bank langsung dilikuidasi, 7 bank BUMN direkap, dan 15 bank swasta yang dimerger (menjadi Danamon dan Permata), 52 bank yang dibekukan operasinya, dan sisanya bank swasta yang diambilalih dan direkapitalisasi.
Biaya yang dikeluarkan negara untuk ke-95 bank itu mencapai Rp 650 triliun, terdiri dari BLBI, obligasi rekap (Rp 425,5 triliun), surat utang penjaminan, dan dana talangan. Dari jumlah itu, BPPN menangani sekitar Rp 590 triliun dalam bentuk penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) Rp 126,45 triliun, restrukturisasi/obligasi rekapitalisasi bank di bawah BPPN (Rp 123,16 triliun), dan aset kredit macet (Rp 340 triliun).
Soal jumlah kredit macet yang dialihkan ke BPPN pun sampai kini tidak jelas benar, karena lembaga itu hanya mengakui nilai Rp 340 triliun sesuai asset transfer kit (ATK). Sementara hasil audit Deloitte, Touche and Tohmatsu (DTT) pada 2002 menyebutkan terjadinya selisih nilai aset Rp 286 triliun dari saldo ATK diverifikasi sebesar Rp 580 triliun. Ribut-ribut soal ini pun tak jelas ujungnya. Yang disalahkan adalah dokumen hilang saat terjadi huru-hara.
Secara garis besar, ada tiga bagian pengelolaan aset di BPPN yaitu Aset Manajemen Investasi (AMI) yang menangani para obligor PKPS, Aset Manajemen Kredit (AMK) yang menangani kredit macet dari perbankan, serta Bank Restructuring Unit (BRU) yang menangani penyehatan dan divestasi bank takeover (BTO). Lalu, jika dihitung secara detil kinerja dari unit-unit di BPPN yang masing-masing diketuai oleh seorang deputi, dari tingkat penyelesaian aset yang dikelolanya sejatinya mencerminkan kinerja yang bersangkutan
Lalu tingkat pemulihan BPPN yang hanya 28% jelas kalah jauh dibandingkan lembaga sejenis di negara-negara tetangga. Misalnya FRA dengan recovery rate 35%, KAMCO 49%, DANAHARTA 66%, dan FDIC 57%. Dengan demikian, tak salah kalau dikatakan upaya BPPN mengembalikan aset negara melalui penyelesaian aset dalam restrukturisasi sesuai PP No 17/1999 tidak berhasil. Dengan kinerja BPPN seperti itu, tak heran apabila kecepatan penanganan krisis di Thailand, Malaysia, dan Korsel jauh lebih cepat dari Indonesia. Bandingkan pula beban krisis yang masih harus ditanggung masyarakat dalam bentuk bunga dan cicilan pokok obligasi rekap yang konon mencapai Rp 1.100 triliun hingga 2019.
Pada awalnya, BPPN didirikan tidak saja untuk merestrukturisasi bank, tetapi juga kredit korporasi. Dalam perjalanannya, ternyata 5.000 karyawan BPPN yang dibayar mahal itu tidak mampu merestrukturisasi kredit korporasi seperti diharapkan. Mungkin karena dikejar dateline harus bubar pada 27 Februari 2004 ini, barulah mulai tahun lalu aset-aset kredit yang belum direstrukturisasi (unrestructured loans) alias masih berstatus kredit bermasalah, dilelang besar-besaran.
Bank-bank yang melempar kredit macet itu ke BPPN pun ramai-ramai membeli dengan harga diskon 80% – 90%. Lebih-lebih adanya pelonggaran dari Bank Indonesia melalui PBI No 4/2002 di mana aset kredit yang belum direstrukturisasi itu dapat digolongkan ke adalam kategori lancar hanya dalam kurun wakru satu tahun dan setelah satu tahun kondisi aset kredit itu harus benar-benar secara riil lancar. Kalau belum lancar, menjadi tugas bank tersebut untuk merestrukturisasinya agar masuk kategori lancar.
Kekebalan Hukum
BPPN tentu bertanggung jawab atas buruknya kinerja beberapa bank rekap dan amburadulnya laporan keuangan bank-bank rekap mengingat lembaga ini sudah menempatkan orang-orang pilihan dan kepercayaannya di bank-bank tadi. Namun sejauh ini tak pernah ada nada sesal dari kalangan BPPN menyangkut kinerjanya yang kurang cemerlang itu. Bahkan belakangan ini terbetik kabar keinginan BPPN untuk memproteksi diri dari aspek hukum kepada mantan petinggi BPPN dan pejabatnya yang masih aktif dari kemungkinan tuntutan hukum.
Tentu saja ide yang berlebihan ini memancing reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk di sebagian anggota kabinet. Tidaklah mungkin mantan petinggi dan petinggi BPPN yang masih aktif dikenai kekebalan hukum karena hal itu bertentangan dengan rasa keadilan publik dan mengandung unsur menutupi kesalahan masa lalu petinggi-petinggi itu.
Soal rencana pemberian pesangon baik kepada pimpinan maupun staf BPPN yang nilainya mencapai Rp 500 miliar, meski belakangan nilainya direvisi jauh lebih rendah, memancing reaksi keras dari masyarakat, bahkan Menneg BUMN Laksamana Sukardi dan Menakertrans Jakob Nuwa Wea berkeinginan kebijakan ini ditinjau ulang. Pada saat perekonomian sedang dalam tahap pemulihan yang sebenar-benarnya ini, sepertinya kalangan BPPN sama sekali tidak memiliki sense of crisis dan sense of urgency.
“Prestasi” lainnya dari BPPN adalah pemberian “sertifikat” bebas dari tuntutan hukum (release and discharge) kepada obligor-obligor yang kooperatif dan mampu memenuhi kewajibannya. Dari 39 pemegang saham penandatangan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), 23 pemegang saham telah memenuhi kewajibannya sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan pemerintah. Sementara itu 16 pemegang saham lainnya, terdiri dari delapan pemegang saham tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan pemerintah dan delapan pemegang saham lainnya dinyatakan tidak kooperatif dan penanganannya akan dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Kini terkait dengan pembubaran BPPN, dikabarkan pemerintah melalui Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti menyatakan, diperlukan empat landasan hokum, yaitu dua berbentuk Keppres yaitu tentang Pengakhiran Tugas BPPN dan Keppres tentang Penjaminan, dua landasan hukum lainnya adalah Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perusahaan Pengelola Aset (PPA) dan satu Instruksi Presiden (Inpres) tentang Tim Pemberesan tugas BPPN.
Khusus untuk pembentukan PPA yang akan mengelola aset-aset BPPN yang sudah free and clear (bebas dan jelas kedudukannya) setelah melalui pemeriksaan oleh auditor, hal ini harus diprioritaskan.
Untuk itu, pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK maupun auditor independen, harus dapat dipercepat. Sementara Tim Pemberesan akan mengelola aset-aset yang belum “free and clear” (belum bebas dari berbagai masalah) dan harus diperiksa auditor.
Hal ini membawa konsekuensi, semua transaksi BPPN harus dihentikan tepat pada saat pembubaran, namun untuk proses penyelesaian secara administratif dilakukan melalui Tim Pemberesan. Apakah kemudian tugas BPPN tuntas semuanya? Belum, terutama yang berkaitan dengan aspek hukum. Dalam presentasi kepada Komisi IX Bidang Keuangan dan Perbankan DPR RI, Ketua BPPN Syafruddin Temenggung menyatakan, setelah bubar nanti BPPN mewariskan 1.361 kasus hukum, meliputi 447 debitor dengan nilai utang Rp 25 triliun. Mayoritas kasus itu menyangkut persoalan aset.
Diakui oleh BPPN, pihaknya tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus hukum tersebut, karena kasusnya banyak dan jadual penyelesaian di pengadilan lama. Dari 1.361 kasus hukum tersebut, rinciannya adalah sebesar 178 kasus (13%) dimenangkan BPPN, 56 perkara (4%) BPPN dalam posisi kalah dan sebanyak 1.100 kasus (81%) masih dalam proses di berbagai tingkat peradilan baik proses banding maupun kasasi.
Apabila pemerintah bertekad kuat untuk memenangkan kasus-kasus hukum yang belum terselesaikan, tugas pokok PPA adalah mengupayakan agar recovery rate dalam rangka mengembalikan aset-aset negara tersebut harus dapat dioptimalkan secara all out.
Di samping berupaya memenangkan perkara-perkara di atas, PPA juga harus mengelola dan menuntaskan aset yang diperkirakan masih akan tersisa pascapembubaran BPPN. Oleh karena itu, ditunjuknya 34 kantor akuntan publik (KAP) oleh BPPN untuk memverifikasi dan memvaluasi aset-aset yang diperkirakan tersisa serta mengaudit kegiatan operasional tujuh kantor wilayah BPPN di seluruh Indonesia dan kegiatan 52 BBO/BBKU merupakan jalan keluar yang tepat.
Itulah sejumlah pe-er yang harus dipikirkan dan ditangani pemerintah secara serius pascapembubaran BPPN pada hari ini. u
Penulis adalah pengamat perbankan

Last modified: 27/2/04

Dosa’ Apa Neloe?


Dosa’ Apa Neloe?
Kasasi Neloe dkk
Budi Supriyantoro
ENTAH memiliki ”dosa” apa Edward Cornelis William Neloe, sehingga aparat hukum bernafsu untuk menjebloskannya ke bui. Ketika mantan Dirut Bank Mandiri itu dibebaskan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Februari 2006, dalam kasus pemberian kredit kepada PT Cipta Graha Nusantara (CGN) sebesar Rp 160 miliar, kejaksaan segera membidiknya dengan tuduhan baru.
Bersama kedua rekannya yang sama-sama diadili dalam perkara CGN, I Wayan Pugeg (mantan Direktur Risk Management Bank Mandiri) dan M. Sholeh Tasripan (mantan EVP Coordinator Corporate & Government Bank Mandiri), April silam ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pengambilalihan kredit PT Kiani Kertas di Bank Mandiri senilai US$ 201,1 juta. Pada bulan yang sama, Neloe juga ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Reserse Kriminal Polri. Ia dituduh terlibat kasus pencucian uang. Itu karena kepolisian menemukan rekening senilai US$ 5,3 juta di sebuah bank di Swiss atas nama Neloe. Dalam perkara tersebut, Neloe dijerat dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang.
Toh, tampaknya Neloe tak perlu lagi melanjutkan urusannya dengan kasus kredit Kiani dan pencucian uang di Swiss itu. Kamis pekan lalu Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan kasasi jaksa dalam perkara CGN. ECW Neloe, I Wayan Pugeg, dan M. Sholeh Tasripan, masing-masing dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta atau subsider 6 bulan kurungan. Dan keesokan harinya, mereka bertiga langsung dieksekusi oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Sekadar mengingatkan, dalam putusan sebelumnya, majelis hakim PN Jakarta Selatan yang dipimpin Gatot Suharnoto dengan anggoa I Ketut Manika dan Machmud Hopin telah membebaskan ketiga terdakwa. Mereka yang didakwa melanggar UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu, menurut majelis, tidak terbukti merugikan negara maupun memperkaya diri sendiri atau korporasi.
Atas putusan itu, Jaksa Baringin Sianturi yang kala itu menuntut 20 tahun penjara langsung mengajukan kasasi. Jaksa beranggapan perbuatan para terdakwa telah melawan hukum, karena menyalurkan kredit tanpa ikatan agunan. Menurutnya, perbuatan itu menyimpang dari standar operasi PT Bank Mandiri. Lagi pula, pengucuran kredit tersebut dilakukan dalam tempo yang tidak wajar, yakni sehari.
Kisah ini diawali dari berdarah-darahnya PT Tahta Medan (bagian dari grup Domba Mas) akibat usahanya terus merugi. Di tambah lagi, perusahaan pengelola Hotel Tiara Medan ini juga memiliki utang US$ 31 juta ke BCA. Sementara modalnya sudah negatif Rp 121,6 miliar (per akhir 2001).
Kondisi ini jelas berpotensi mendatangkan kerugian yang lebih besar lagi. Maklum, 33,65% saham Tahta dikuasai oleh PT Pengelola Investama Mandiri (PT PIM) dan sisanya yang 66,35% dimiliki Dana Pensiun Mandiri. Itu sebabnya, Bank Mandiri berupaya membeli kembali Tahta dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Namun, apa daya, tawarannya kalah oleh yang diajukan CGN.
Setelah berunding, pada 24 Oktober 2002, Bank Mandiri sepakat untuk membiayai pembelian hak tagih CGN kepada BPPN. Kesepakatan itu direalisasikan dalam bentuk penyaluran dana talangan atau bridging loan (BL) pada 28 Oktober 2002. Sementara kredit investasinya—yang kemudian dipakai melunasi BL tadi—baru dicairkan pada 28 Januari 2003 atau 3,5 bulan sejak persetujuan pembiayaan diteken. ”Jadi, tidak benar kalau disebutkan kredit itu cair dalam sehari,” kata ECW Neloe beberapa hari sebelum ditahan Kejaksaan Agung.
Banyak hal positif yang dihasilkan dari proses divestasi Tahta Medan. Salah satunya, proses rescheduling atau penjadwalan kembali utang yang menjadi tanggungan perusahaan itu menjadi berjalan lancar. Bahkan, CGN yang telah berubah statusnya menjadi pemegang saham di Tahta Medan telah sanggup membayar bunga dan provisi yang menjadi kewajibannya senilai Rp 30 miliar. Selain itu, kabarnya, cicilan pertama sebesar US$ 150 ribu—sejak dilakukan rescheduling—telah pula dibayarkan.
Lebih dari itu, semasa Neloe masih menjadi nakhoda Bank Mandiri, sudah ada beberapa investor yang berminat untuk mengambil alih perusahaan itu. Sehingga, kalau transaksi itu terjadi, maka Mandiri sebagai bank tidak akan mengalami kerugian apa pun. Jangan salah, kalau kredit BPPN itu jatuh ke tangan pihak lain yang tidak mau bekerja sama, anak perusahaan Bank Mandiri (PT PIM) dan Dana Pensiun Mandiri itu mesti membayar utang US$ 31 juta atau sekitar Rp 310 miliar. Dan ini yang penting, langkah-langkah yang diambil Neloe itu, secara legal, juga telah disetujui rapat umum pemegang saham (RUPS) yang berlangsung 16 Mei 2005.

DI MANA UNSUR KERUGIAN NEGARANYA?
Toh, pandangan bankir sungguh berbeda dengan penilaian jaksa. Para penuntut itu tetap menganggap telah ada beberapa prosedur kredit yang dilanggar oleh para direksi. Intinya, jaksa menilai kredit tersebut dikucurkan, ”Tidak berdasarkan pada penilaian yang jujur, obyektif, cermat, dan saksama”. Itu karena nota analisis kredit dibuat dalam tempo yang tidak wajar, yakni hanya sehari.
Nah, rupanya MA sependapat dengan pandangan jaksa. Dan tentu saja Neloe dkk kecewa dengan vonis itu. Apalagi kata Yan Juanda Saputra, kuasa hukum Neloe, dalam putusan PN Jakarta Selatan sebelumnya, telah dinyatakan tidak ada unsur kerugian negara. ”Jadi, di mana unsur perbuatannya,” tegasnya.
Yan tak asal omong. Kredit investasi yang disalurkan ke CGN yang disebut-sebut merugikan negara memang telah lunas. Betul, di sisi lain memang timbul tagihan kepada PT Tahta Medan sebesar US$ 18,5 juta. Tapi, itu pun tidak tergolong sebagai kredit macet. Bahkan, menurut sebuah dokumen, per 27 Mei 2005, kredit yang semula digembar-gemborkan sebagai non performing loan alias NPL itu malah termasuk ke dalam kategori lancar alias kolektibilitas 01.
Singkat kata, kalaupun akhirnya MA menolak kasasi yang diajukan jaksa, bisa jadi Neloe pihak Gedung Bundar maupun Mabes Polri segera meringkus Neloe dengan jerat pengambilalihan kredit Kiani Kertas dan pencucian uang tadi.

Setoran Modal Dalam Bentuk Tunai Oleh LPS Ke Century Patut di curigai


Sayangnya audit BPK mulai meriksa hanya darI priode merger yaitu 2005, walaupun disinggung masalah Chinkara Capital sebagai salah satu pemegang saham CIC , begitu mudah diberi persetujuan oleh BI untuk mengakuisisi bank Danpac dan bank Pikko pada bulan nop 2001. Padahal Chinkara tidak memenuhi syarat sebagai investor bonafide.

Didalam tulisan saya “Deal of the Century” saya mundur kebelakang ke thn 2000 ketika CIC mendapatkan pembiayaan GSM102 sebesar $950jt atas rekomendasi serta back up BI. Menjadi pertanyaan besar ada apa sampai mendapat support yang demikian besar di saat industri perbankan nasional sedang terpuruk dan dilakukan proses restrukturisasi perbankan secara nasional. Sumber dana praktis tidak ada kecuali dari BLBI dan obligasi rekap. Patut diduga bahwa CIC melakukan praktek perbankan yang miring sehingga bisa mendapatkan pembiayaan GSM 102 yang sejatinya adalah trade financing menjadi pembiayaan tetap selama 3 tahun.
Apa yang dikemukakan BPK mengenai banyaknya kemudahan dari BI serta deviasi terhadap aturan merger pada tahun 2005, kemudian kewajiban BC yang di cuek bebek adalah merupakan suatu AKIBAT dari keterlibatan petinggi BI dengan CIC dalam persoalan GSM102, serta pembelian SSB peringkat rendah sejak thn 2000. Program GSM-102 danPL-416 menjadi skandal yang memalukan bagi indonesia di mata asing pastinya melibatkan pejabat BI sebegitunya menghalalkan segala cara melabrak rambu2 kontrol yang ada sampai terjadinya merger menjadi BC. Permasalahan bukannya selesai malah menjadi bola salju, ini akibat dari investasi dalam instrumen yang semi bodong di carry over at face value kedalam neraca BC merger.Para pemegang saham dan pengelola utama CIC yg kemudian menjadi Century begitu leluasa melakukan acrobat financing di depan hidung BI dari mulai merger sampai thn 2008, tidak lain sebabnya telah mengantongi pejabat BI yang terus tereret eret sejak thn 2000. Apa yang terjadi kemudian kita semua sudah tau. Hari ini dikejutkan lagi dengan fakta bahwa ternyata dari dana penyertaan modal LPS sebesar 6,7T, sebanyak 5,2T adalah dalam bentuk tunai yang disetorkan secara bertahap:

Tahap I. 2,7T disetor sebanyak 6x sejak 24 nov – 1 Des 2008. Semua cash.
Tahap 2. Rp. 2.2T disetor sebanyak 13x. Dari tgl 9 Des- 30 Des 2008 kesemuanya dalam bentu tunai kecuali tgl 23 Des sebesar 445mliyr dlm bentuk SUN.
Tahap3 . Rp.1,1T sebanyak 3x setoran tgl 4 dan 24 febr 2009 dalam bentuk SUN 1T dan tunai 150milyar.
Tahap 4 Rp.630m setoran tunai 1x tgl 24 july 2009.

BPK menyajikan angka tersebut dalam laporannya, namun tidak dibahas masalah keganjilan bentuk setoran tunai.

Penyertaan modal dalam bentuk tunai yang begitu besar memberi peluang untuk menghilangkan jejak, singkatnya uang tunai masuk kedalam brandkas bank dengan entry pembukuan meng kredit pos penyertaan modal LPS, selanjutnya uang tunai bisa ditenteng keluar oleh pemegang saham atau pihak terkait lainnya cukup dengan membukukan sbg pencairan deposito, atau yang lebih canggih lagi yaitu menghapus bukukan transaksi back to back kredit dengan bank koresponden di luarnegeri yg sudah terjadi sebelumnya.
Laporan audit indendent BC thn 2008-2009 menyatakan bahwa hampir seluruh placement BC maupun surat berharga telah dijaminkan pada Saudi International Bank dan Credit Suisse Singapore untuk fasilitas credit kepada pihak ketiga. Atas fasilitas tersebut telah dilakukan eksekusi atau di lakukan setting off pada bulan Mei 2009, sehingga saldo placement, deposito dan surat berharga yang telah dijaminkan menjadi nihil. Disinilah kemudian alur dari aliran dana menjadi terputus karena terhenti pada penarikan secara tunai yang tidak meninggalkan paper trail sehingga sulit untuk menditeksi siapa yang menerima.

Dugaan saya alasan yang akan dikemukakan mengapa penyertaan modal LPS dilakukan dalam bentuk tunai kurang lebih berkisar “ mengantisipasi akan ada rush ”. Alasan ini tidak masuk akal karena settlement untuk nasabah century yang benar2 nasabah dengan saldo dibawah 2m dapat dilakukan melalui Mandiri dengan transfer atau pemindah bukuan. Dijaman IT dan real time transaksi perbankan melalui jaringan yang sudah established , tindakan menyetor dalam bentuk tunai merupakan indikasi yang kuat menambah kecurigaan masyarakat bahwa dibalik bail out BC terdapat suatu konspirasi besar yang perlu di usut secara seksama sampai tuntas ke akar akarnya. Once and for all menjadi pelajaran bagi semua pemegang amanah bahwa kini bukan saatnya lagi membohongi rakyat dengan segala jargon dan terminologi keuangan untuk mencari pembenaran. Kali ini ungkapkanlah kebenaran para pemberi amanah sudah haus akan itu.

Hai orang orang yang beriman janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul dan jangan menghianati yang diamanatkan kepadamu padahal kamu mengetahui.
(QS AL ANFAAL:27

Bom Waktu Dibalik Kasus LC BNI


Bom Waktu di Balik Kasus BNI

Projusticia

Di balik kasus pembobolan BNI senilai Rp1,3 triliun, ada banyak pertanyaan yang harus bisa dijawab. Jika tidak, hal ini merupakan penghinaan terhadap akal sehat dan besar kemungkinan terjadi pada cabang BNI lain dengan cara yang kurang lebih sama.

Kasus L/C BNI telah lebih dari setahun mencuat ke permukaan. Pengadilan juga telah menjatuhkan vonis kepada para terdakwa dari Grup Gramarindo serta tiga karyawan BNI Cabang Kebayoran.

Namun penyelesaian kasus ini masih menyisakan banyak pertanyaan. Antara lain, siapa sebenarnya sutradara di balik kasus ini? Sejauh mana BNI terekspos untuk kerugian yang lebih besar? Apakah ada kasus serupa di cabang lain yang melibatkan nasabah lain?

Terhenti di nasabah

Ironis sekali bahwa penyidikan oleh polisi hanya terfokus pada nasabah dan tidak ditindaklanjuti ke dalam intern BNI yang lebih atas dari sekadar tingkat cabang.

Walaupun pengadilan telah menjatuhkan vonis terhadap Koesadyuwono selaku pimpinan cabang dan Nirwana Ali, pimpinan cabang ad interim BNI, publik perlu mengetahui bahwa keduanya tidak lebih hanya sebagai innocent bystander. Mereka telah diperdaya oleh Eddy Santoso, kepala bagian customer service luar negeri, yang secara struktural adalah bawahan mereka. Mengapa mereka mau ‘diatur’ oleh Eddy? Apakah karena Eddy Santoso merupakan kakak kandung salah satu petinggi BNI yang merupakan pimpinan langsung kedua orang itu?

Dari fakta dalam persidangan dan rincian hasil audit intern BNI jelas peranan Eddy Santoso sebagai pelaku utama di tingkat cabang yang mempunyai keleluasaan untuk memberikan diskonto, mengatur ‘pengiriman’ dokumen ekspor, dan pendebitan atas rekening nasabah tanpa persetujuan nasabah. Pendeknya melakukan pelanggaran atas rambu-rambu trade financing yang lazim.

Tapi apakah mungkin seorang Eddy Santoso, dengan posisi manajemen lapis ketiga di cabang, melakukan ‘acrobat’ ini sendirian tanpa melibatkan orang di divisi treasury, divisi luar negeri, dan mengelabui internal control dan Divisi Kepatuhan di Kantor Pusat?

Beberapa kejanggalan

Terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah L/C yang diterima Grup Gramarindo menurut versi BNI dan yang sebenarnya diterima menurut Gramarindo. Ini dibuktikan dengan data rekening koran masing-masing perusahaan penerima dana L/C.

Menurut BNI, jumlahnya US$154,400,000. dan euro56,114,446. Sedangkan menurut data rekening koran Grup Gramarindo, jumlahnya US$130,499,522 dan euro 54,018,181. Artinya, terdapat selisih US$23,900,477. dan euro2,096,254. yang menjadi beban Gramarindo. Penyidik gagal mengungkapkan ke mana atau di mana letak perbedaan jumlah tersebut yang jika dikonversikan ke dalam rupiah dengan kurs pada waktu itu sama dengan Rp220 miliar. Jadi, ke mana raibnya uang sebesar itu?

Masyarakat berhak mengetahui berapa sebenarnya kerugian yang diderita BNI akibat dari transaksi L/C Grup Gramarindo. Yang jelas bukan Rp1,7 triliun. Jika melihat bukti dokumen di dalam proses penyidikan dan meneliti dengan seksama laporan rincian hasil audit yang dibuat Tim Pengawasan Internal BNI pada Agustus/September 2003, tidak ada pembayaran untuk menutup outstanding L/C yang berasal dari issuing bank. Semua pembayaran untuk menutupi L/C yang telah jatuh tempo berasal dari Grup Gramarindo sendiri. Langsung atau tidak langsung melalui rekening pihak ketiga, dimana sumber dana pengembalian tersebut berasal dari L/C yang di diskonto di BNI juga.

Dari data rekening koran dapat pastikan bahwa dari jumlah L/C US$130,499,522 dan euro54,018,181 telah dikembalikan kepada BNI secara langsung maupun melalui rekening pihak ketiga sebanyak US$89,550,735. Dengan begitu outstanding kewajiban LC Gramarindo kepada BNI yang sebenarnya adalah US$40,948,786 dan euro54,018,181 atau (eq Rp) Rp861 miliar.

Jumlah ini hanya separuh dari yang selama ini digembar-gemborkan sebesar Rp1,7 triliun. Dalam RUPS Luar Biasa Desember 2003 BNI menyatakan penyimpangan L/C mencapai Rp1,7 triliun dengan potential loss sekitar Rp1,3 triliun. Bahkan dalam RUPS disetujui untuk melakukan write off sebesar kurang lebih Rp950 miliar akibat transaksi pendiskontoan L/C oleh Cabang Kebayoran Baru, Jakarta.

Dalam rincian hasil audit intern BNI (poin 7) dinyatakan bahwa ada penyelesaian diskonto usance L/C sebesar US$10,149,745 ( terdiri atas 4 L/C yang didiskonto pada 2002) dengan mendebit rekening nasabah tanpa persetujuan terlebih dahulu dari nasabah. Hal ini dilakukan cabang karena Rekening Antar Kantor (RAK) devisa cabang telah didebet oleh Kantor Pusat Internasional. Jadi cabang hanya merespons suatu transaksi yang diinisiasi lebih dulu oleh kantor pusat.

Di sini terlihat keterlibatan kantor pusat yang patut diselidiki lebih lanjut mengingat dalam transaksi ini tidak pernah ada pembayaran dari issuing bank sehingga dasar underlying transaction pendebitan RAK devisa cabang oleh kantor pusat menjadi pertanyaan. Boleh jadi transaksi ini tidak berkaitan sama sekali dengan Gramarindo melainkan untuk nasabah lain.

Banyaknya transaksi menggantung pada pos RAK bank, terlebih lagi dalam valuta asing, sering dijadikan tempat ‘persembunyian’ transaksi siluman. Ini dimungkinkan karena tertundanya proses reconcilement antara pos RAK dengan bank statement yang sesungguhnya.

Kegagalan penyidik dan Divisi Kepatuhan BNI untuk menelusuri lebih lanjut tanda-tanda adanya konspirasi dalam intern BNI pada tingkatan yang lebih tinggi merupakan bom waktu yang dapat meledakkan wajah perbankan di Indonesia di kemudian hari.

Bom waktu

Dari penelusuran arus dana hasil diskonto L/C terdapat nama Cadmus Pacific Pte Ltd menerima US$28,660,987 dan Capital Gain Ltd menerima US$15,311,765. Suatu jumlah yang cukup besar atau 34% dari total diskonto L/C. Dalam proses penyidikan sampai dengan proses peradilan tidak dapat diungkapkan siapa di belakang kedua perusahaan tersebut.

Anehnya lagi dari Cadmus Pacific Ltd diketahui melakukan beberapa kali transfer pembayaran dengan total $7,470,980 kepada BNI New York dalam kurun waktu enam bulan dan dari Capital Gain Ltd dua kali pembayaran dengan total $4000,000. Ini menggambarkan bahwa kedua perusahaan ini sangat berperan dalam transaksi diskonto tersebut.

Cadmus adalah perusahaan berdomisili di Singapura bukan BVI company sehingga data mengenai perusahaan ini merupakan public record. Jika BNI serius untuk mendapatkan recovery, melalui Bank Indonesia dapat meminta MAS –Monetary Authority of Singapore–untuk melakukan intervensi. Bahkan melakukan pemblokiran atas rekening Cadmus Pacific.

Dengan kata lain, kasus besar (Rp1,7 triliun) sebenarnya tetap tak mengungkapkan secara transparan apa yang sesungguhnya lebih besar lagi, yakni sebuah jejaring ‘kerja sama’ yang tanpa disadari terus berlangsung. Tanpa pengungkapan yang tuntas, kita tak akan menang dalam perang melawan kejahatan perbankan. Kasus ini juga akan menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja dengan akibat yang mengerikan. Karena itu, sebaiknya Kabinet yang baru memasukan kasus ini dalam ‘program 100 hari’. (www.mediaindo.co.id/)