Peradilan Sebagai Sebuah Proses yang Jujur

Resi Bhisma
Peradilan, mengandung arti “segala sesuatu mengenai perkara pengadilan”, yang merupakan turunan dari kata adil yang berarti “(1) tidak berat sebelah; (2) sepatutnya; tidak sewenang-wenang”. Artinya, ditilik dari makna katanya saja, sebuah sistem peradilan yang ideal sekurang-kurangnya harus memenuhi syarat (1) netralitas atau ketidakberpihakan dan/atau (2) dasar-dasar pertimbangan yang patut.

Pada dasarnya, memang selalu ada dua pihak (atau lebih) yang berselisih dalam suatu perkara pengadilan. Dalam perkara pidana atau permohonan sekalipun, bukan berarti penjatuhan hukuman atau pengakuan hak hanya menyangkut satu pihak saja. Pengakuan hak pada satu pihak atau dijatuhkannya sanksi, sejatinya juga akan menyangkut kepentingan-kepentingan (para) pihak lain yang (secara obyektif) terkait dengan pengakuan atau penetapan sanksi tersebut.

Dilimpahkannya suatu hak atau dijatuhkannya suatu hukuman harus didasari dengan dasar-dasar pertimbangan patut yang mengacu pada kriteria-kriteria obyektif tertentu yang berlaku secara umum. Sementara itu, ketika suatu hak dicabut atau seorang terdakwa dibebaskan dari tuntutan, juga mesti ada dasar-dasar pertimbangan yang juga akan berlaku bagi pemegang hak atau (calon) terdakwa lain dalam kasus serupa.

Di titik ini, terkandung hubungan timbal balik, yaitu kriteria-kriteria obyektif yang, tanpa kecuali, akan merekatkan kepentingan semua orang, termasuk hakim yang menjatuhkan putusan itu sendiri. Kriteria-kriteria obyektif ini, hanya akan bisa disampaikan kepada semua orang, ketika ada sebuah proses peradilan yang terbuka. Keterbukaan itu nantinya akan mencerminkan kejujuran dari penyelenggara peradilan. Keterangan saksi yang disumpah serta alat bukti yang dungkapkan dalam persidangan adalah kriteria objektif yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan hakim dalam mencapai keputusan.

Dari sini saja, sebenarnya bisa kita lihat norma penguji mutlak seperti apa yang harus dipenuhi oleh seorang hakim dalam memutus perkara, yaitu adanya proses yang jujur. Nilai mutlak tersebut, tidak bisa tidak, harus selalu dipenuhi, lepas dari penilaian hakim atas muatan perkara itu nantinya seperti apa.

Dengan begitu, sebenarnya perkara pengadilan akan dapat kita kaji dari dua sudut pandang
(1) dijalankannya proses-proses tertentu secara jujur dan
(2) penilaian menyangkut kebenaran di dalam perkara tersebut, Justice as fairness.

Untuk poin ke 2 atau tafsiran kebenaran, memang pada akhirnya hanya dan hanya ditentukan oleh penilaian hakim saja. Hakim sejatinya memiliki kemerdekaan untuk menentukan bagaimana dirinya menilai bukti, memilah peraturan perundangan yang relevan, serta menafsirkan dan menerapkan aturan tersebut. Pertanggungan jawab atas jabatan yang di emban ini adalah kepada Tuhan.

Secara teori, adanya proses peradilan yang terbuka, dapat menghapus faktor-faktor non-yuridis yang (diduga) ikut berperan. Benar salahnya seseorang akan ditentukan oleh kondisi obyektif perkara itu sendiri. Akan tetapi pada kenyataannya seringkali faktor keterbukaan ini menjadi boomerang karena peranan media massa yang cenderung membentuk opini publik sejak perkara ditangani pada tingkat penyidikan. Khususnya untuk kasus korupsi, (dianggap sebagai primadona) nyata sekali keberpihakan media massa kepada aparat penegak hukum, issue atau rumor yang bombastis yang bukan merupakan fakta hukum diangkat sebagai headline tanpa mengindahkan azaz praduga tak bersalah. Tidak jarang seorang tersangka telah di vonis melalui proses trial by the press, sehingga proses penyidikan telah terkonteminasi oleh faktor non yuridis dan menghasilkan berkas perkara yang amburadul secara hukum. Fenomena takut melawan arus, melawan opini publik, melukai rasa keadilan masyarakat, faktor inilah kemudian menjadi landasan berkas perkara diteruskan kepada tingkat penuntutan ketimbang fakta berdasarkan hukum. Terjadilah kemudian istilahnya passing the bulk penyidik takut disalahkan dan tidak berani melawan arus demikian juga jaksa penuntut umum, sehingga beban perkara yang amburadul sekalipun dilimpahkan kepada majelis hakim untuk memutus. Yang terjadi di tingkat peradilan pun sama saja , ada istilah yang berkembang yaitu hakim lebih takut kepada wartawan daripada Tuhan. Proses passing the bulk pun terjadi kepada tingkat pengadilan tinggi dan seterusnya..
Untuk kasus ‘mafia peradilan’ di Indonesia, masalah yang dihadapi sebenarnya lebih menyangkut pada apa yang terkandung di dalam poin ke-1. Sudah adakah jaminan akan proses yang jujur atau, meminjam istilah yang dipakai oleh MK, peradilan yang bebas dan tidak berpihak ( fair trial) bagi pihak-pihak yang bertikai berdasar pada landasan obyektif yang berlaku umum? Masalah inilah yang sebenarnya membuat para pemerhati dan pegiat hukum dibuat gerah dan frustasi dalam mencari keadilan.

Pembenahan proses penanganan perkara
Untuk perbaikan ke depannya, tidak dipenuhinya poin ke-1 (proses yang jujur) di atas dapat dijadikan patokan kemungkinan adanya “kondisi yang sangat ekstrim” yang dapat dijadikan bukti oleh KY untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut lagi. Tentu, masih mesti dilihat lagi seberapa serius pelanggaran atas syarat-syarat adanya peradilan yang bebas dan tidak berpihak, dalam kasus-kasus nyata. Dalam hal ini, KY di satu sisi harus tetap berusaha menghindari intervensi atas pendapat hukum hakim bersangkutan, namun, di sisi lain juga terus berusaha membantu menegakkan proses peradilan yang jujur.

Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, KY perlu melakukan kerja sama dengan MA. Tujuan KY adalah ikut memecahkan permasalahan internal yang dihadapi MA, bukan untuk menjadi kekuasaan kehakiman tandingan. Semakin politis tekanan yang diberikan KY, maka akan semakin defensif lembaga MA. Akibat paling parah, kita akan dihadapkan pada pilihan antara MA dan KY yang sebenarnya tidak perlu. Bagaimanapun juga, mustahil peradilan yang jujur dapat diwujudkan tanpa inisiatif dan peran serta MA.

Karenanya, selain mempublikasikan putusan, idealnya MA juga membentuk sebuah majelis kehormatan yang melibatkan KY dalam memeriksa hakim yang dicurigai telah melakukan penyelewengan fungsi dan kewenangannya. Ide tersebut sebenarnya telah masuk ke meja DPR. Meski begitu, sebelumnya harus ada kesepakatan antara MA dan KY mengenai dasar-dasar obyektif yang jadi patokan bersama dalam melakukan fungsi pengawasan seperti ini, sehingga pertikaian dapat dihindari berdasar pada kesepakatan tersebut.

Ini akan memperkecil resiko benturan politis di antara dua lembaga tersebut. Barangkali, “kondisi yang sangat ekstrim” yang telah penulis sebutkan tadi, bisa dijadikan sebagai patokan seperti itu.

Bukan tidak mungkin, apabila majelis seperti itu ada – dengan syarat adanya kriteria-kriteria obyektif tadi, akan ada perubahan yang semakin berarti di dalam tubuh MA. Bukankah institusi MA sendiri akan berpikir dua kali untuk menjaga citranya di mata publik dengan tidak meremehkan fungsi pengawasan internal yang melibatkan KY tersebut?

Di sisi lain, apabila peradilan yang jujur terwujud, maka publik sendiri akan dapat menilai apa yang menjadi dasar-dasar putusan hakim. Semakin bijak argumen-argumen yang dikemukakan oleh hakim, maka semakin tinggi pula tingkat kepercayaan publik.

Perlu untuk diingat, akibat dari belum adanya jaminan akan proses peradilan yang jujur, kekuasaan hakim terus menerus mendapat tekanan. Karena hal ini menyangkut kekuasaan, maka tak heran apabila reaksi yang timbul sangat berbau politis. Kondisi ini juga berpengaruh negatif pada komunitas hukum di Indonesia.

Kecurigaan, perselisihan, bahkan pertikaian di dalam dunia hukum yang semestinya bersih dan penuh rasa percaya, telah menjadi hal yang begitu lazim. Bila di puncaknya saja terjadi konflik, maka tidak mengherankan bila pada tataran bawah juga berlangsung proses dialog yang tidak sehat.

Patut pula digarisbawahi, citra dunia litigasi di Indonesia masih jauh dari cerminan nilai kebaikan, keadilan dan kebenaran yang diidealkan oleh para pencari keadilan, bahkan di mata para sarjana hukum sendiri sekalipun. Kepercayaan publik pada dunia litigasi, pendek kata, telah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan.

Jika setiap ketua MA menghendaki perubahan dan sudah muak dengan cap ‘mafia peradilan’, bukankah ada baiknya sesegera mungkin mewujudkan proses peradilan yang jujur dengan bantuan Komisi Yudicial? Proses peradilan yang jujur dalam hal ini dilihat dari segala aspek, tidak hanya menyangkut kecurigaan terhadap putusan bebas atau vonis ringan terhadap suatu perkara, akan tetapi juga terhadap putusan dengan vonis berat, apakah keadilan telah ditegakkan, apakah terdakwa telah mendapatkan fair trial…..

 

Saya adalah pemilik syah dari republik ini dan saya mendambakan terciptanya keadilan dan kemakmuran bagi bangsa ini.

Leave a comment