WHISTLEBLOWERS DI NKRI



Bagaimana dengan pemberangusan para Whistleblowers di NKRI? Deretan panjang kematian misterius beberapa tokoh nasional, kini ditenggelamkan kasus kasus baru-terkini. Ingat “kecelakaan” mobil (di Mesir?), yang dialami tokoh Nahdliyyin reformis Subhan Z.E.? Juga Jaksa Agung Baharuddin Lopa di Saudi Arab? How about Hamdun?

Masih ingat “Skandal” Mega-Milyar di KOSTRAD, yang dua tahun lalu diekspos oleh PangKostrad AWK? Jenderal “santri” yang dicap kontroversial itu, mendadak juga “wassalam” akibat — menurut penjelasan “resmi” yang digulirkan — tekanan darah tinggi. AWK wafat ketika berstatus no more PANGKOSTRAD.

Only GOD knows, penyebab sesungguhnya “AWK’s untimely demise” itu. “Untimely death”, sebab almarhum tidak mengidap “jantungan”. Jenderal jantungan tidak bakal dipromsikan jadi Panglima KOSTRAD. Amati Jenderal Ryamizar yang kini KASAD; gagah perkasa selalu tampil on top form. Wow, calon PANGLIMA TNI. Good luck lah, General.

Dibungkam, di-blackmail (pemerasan politis dan/atau seksual), diteror mental, dipecat dari kantornya, diisolir, diboikot (dari “nyanyi” menulis kisah nyata di media cetak), dan paling buruk “dilenyapkan” – merupakan modus operandi Organisasi/Pemerintah Bayangan di manapun di dunia terhadap “Vokalis” seperti itu. Singkatnya, “suppressing the truth”, alias pemberangusan upaya SAH mengungkapkan berbagai praktik busuk internal organisasi/ kelompok politik/bisnis dan birokrasi.

Bukan tak pernah, Opsus seperti itu digelar mengatasnamakan “Keamanan Nasional”. Dalam kasus suap oleh BPPN, elit DPP Banteng overweight jelas kebakaran jenggot. Sebab jika kasus itu dibongkar tuntas, nampaknya bakal menguak kasus kasus suap serupa oleh pihak pihak lain kepada segelintir elit PDIP.

Dalam pada itu, Penulis lupa Komisi mana di DPR yang menangani (V atau IX?), namun jelas membahas Pre-Shipment Facility Bank Indonesia kepada TEXMACO group. Kasus itu menjelang akhir 1999 digulirkan Menneg BUMN Ir. Laksamana Sukardi.

Orang yang tidak dungu bakal bertanya tanya, faktor apa pula yang memotivasi Komisi itu (dalam Sidang sesi terakhir kasus itu 3 Juli 2000) memutuskan “Case Closed”. Artinya, TEXMACO “clear”. Kasus itu disudahi. Dan Ir. Laks pun gigit jari.

Sedangkan pakar ekonomi, seperti Sri Mulyani, PhD., Koordinator Indonesian Corruption Watch/ICW Teten Masduki, dan Menteri Kwik Kian Gie, dll (kelompok pengeritik “deal” tertutup antara BPPN dan elit TEXMACO) — mendapat label sebagai Konspirator jahat bermaksud menghancurkan TEXMACO. Begitu pula cap terbaru bagi James Riady dan Antony Salim.

Hanya beberapa minggu setelah pernyataan kerasnya di DPR akan memburu pelaku KKN, bahkan kawan kawan dekat Presiden RI waktu itu — berkaitan dengan “Kasus TEXMACO” — Jaksa Agung Baharuddin Lopa akhirnya “wassalam” secara misterius pula di Riyaad, Arab Saudi. Lha, apa pula kaitannya, kok Kepala BIN Saudi pun lalu dipecat?

Tidak diketahui kalangan PERS (cetak/elektronika) yang jujur di NKRI, beberapa minggu sebelum Jaksa Agung Lopa wafat, seorang Jaksa Senior menyatakan keinginan dapat bertemu dengan Big Boss grup itu. Lalu, suatu malam 29 Juni 2001, dilakukan “pertemuan rahasia” antara petinggi grup itu dan Tuan “X” (Jaksa senior itu?) di kawasan Kemang.

Tuan X dijemput tiga staf Kantor Pusat grup itu, menggunakan mobil tergolong mewah milik TEXMACO; dari satu lokasi “A” — ke lokasi “B”tentunya venue pertemuan rahasia di Kemang itu. Salah satu penjemput “tamu penting” itu, eks wartawan pula!

Kembali pada sesi terakhir Sidang Komisi itu dengan para petinggi TEXMACO 3 Juli 2002, ada keanehan yang layak dicermati dan dipertanyakan. Penulis duduk di kursi depan, sederetan dengan Presdir TEXMACO Sinivasan (hanya dibatasi dua eksekutif senior grup itu), berhadapan dengan deretan kursi Ketua Sidang & para deputi/sekretaris.

Pada posisi “jam 13.00”, di sisi kanan deretan kursi elit TEXMACO, terdapat deretan kursi anggota Komisi berhadapan dengan tempat anggota lain. Sidang sempat memanas, ketika seorang “Vokalis” muda PDIP anggota Komisi itu mencerca Sinivasan. Sinivasan pun sempat terbawa emosi, menyatakan diri juga punya harga diri. Nah, Lo!

Ketika Sidang sudah berlangsung sekitar 10 menitan, penulis melihat seorang anggota Komisi itu memasuki ruang Sidang, dan menempati deretan kursi anggota pada lokasi jam 13.00 itu. Cermati ini: anggota Dewan itu berperawakan tinggi besar, sekitar 178 – 180 cm, 80 – 90 kg, berkumis dan berpipi “tambun”.

Sekali lagi, akhir dari Sidang itu adalah “Case Closed”. Timbul teka teki di benak penulis. Seberapa besarkah, peran orang tinggi besar itu atas keputusan Sidang tsb? Mungkinkah telah terjadi “deal” antara orang itu mewakili Komisi, dan Sinivasan sebelum sesi terakhir Sidang itu? Bukan tidak mungkin. Simak pula yang berikut ini:

Kurang dari dua minggu sebelum Sidang sesi terakhir itu, di Lantai 10 Gedung SENTRA MULIA Kantor Pusat TEXMACO Group, penulis memergoki anggota Dewan itu tergopoh gopoh, buru buru turun ke Lobby menggunakan Lift di Lantai 10 gedung tsb. Sangat jelas, beyond any doubt, ia baru saja melakukan pertemuan khusus/penting dengan para petinggi TEXMACO di Lantai 10 SENTRA MULIA.

Draw your conclusion, simpulkan sendiri, kaitan antara kehadiran that fat bloke di Kantor Pusat TEXMACO dan keputusan akhir Sidang Komisi itu 3 Juli 2000. Jika bertemu lagi atau melihat foto ybs di buku anggota DPR/MPR, penulis dapat mengidentifikasi — siapa sebenarnya orang tinggi besar berpipi tambun itu, dan dari Fraksi Parpol besar yang mana pula dia. And he is NOT a Jawa ko’ek! Profil mukanya mirip Patih Gajah Mada, bukan tipikal Jawa. You guys know what I mean?

Di Draft buku TEXMACOGATE, bersumber kader senior PDIP Wong Sumatra Utara, penulis ungkapkan indikasi kuat apa yang kemudian disebut “Tim Penjinak Laks”, terdiri segelintir elit Fraksi Parpol gede dari terutama “Geng” etnis North Sumatrans. Don’t you guys ignore, Mr. Sinivasan lahir dan dibesarkan di Medan. Connect the dot.

Episode 3 Juli 2000 di Senayan itu, dan kaitannya derngan kehadiran anggota Dewan itu di Kantor Pusat TEXMACO sekitar10 –15 hari sebelum Sidang Komisi tsb, merupakan bagian DRAFT buku penulis berjudul sementara, TEXMACOGATE: DIRTY TRICKS “R” US! The Deception Continues, Aided By Dishonest Government Officials; the “Press-Whores”; and Crooked Lawmakers. Paling tidak empat media cetak terkemuka (Harian, Tabloid mingguan & majalah mingguan) di NKRI pernah menyoal “Skandal TEXMACO” selama periode 2000 – 2001. Selama 2002, mereka membisu!

Bagaimana tanggapan Pemimpin Umum/Wakil Pemimpin Umum, dan PemRed ke-4 media cetak kondang itu — terhadap Draft buku yang didukung narasumber internal, saksi, dan saksi ahli serta dokumen otentik tentang berbagai bentuk praktik KKN; intimidasi dan TEROR pisik terhadap beberapa “pentolan” buruh TEXMACO; dua aktivis Orsospol “Radikal Kiri” pembela hak buruh; dan Pengurus SPSI di Purwakarta? Seluruh Pem. Umum/Wakilnya dan PemRed media cetak terkemuka itu cuek bebek! Mereka SENGAJA memboikot upaya SAH pengungkapan “TEXMACOGATE” itu. Me, a lone nuts?

Apa yang memotivasi para jurnalis gaek itu sengaja memilih sikap membisu itu? Ada tiga kemungkinan: (1) Ketakutan luar biasa versus intimidasi para Pelindung elit TEXMACO; (2) mereka terkontaminasi oleh praktik suap (terkonfirmasi, ada upaya suap TEXMACO; baca di http://radio68H.or.id “Wartawan Mengembalikan Uang Suap dari TEXMACO” dan di “PIJAR” tentang “Makelar Makelar Ekonomi TEXMACO”); dan (3) takut “dilurug” LAGI oleh karyawan TEXMACO (kasus September 2000, atas Redaksi Harian kondang di Jakarta, menyusul berita-analis koran itu di rubrik Bisnis).

Inilah yang di A.S. disebut praktik tak terpuji di kalangan “mainstream media”, sebagai “swa-pemberangusan diri” vs. Whistleblowing sah — atas kasus kasus skandal besar yang diotaki kalangan Trans-National Corporations Barat, utamanya di Amerika.

Menyangkut kasus suap BPPN itu, Presiden Partai Keadilan Hidayat Nurwahid menyuarakan kegusarannya. Kepada reporter SCTV (Liputan Petang, Minggu, 29 September 2002), ia menyatakan kasus itu merupakan puncak gunung es (the tip of an iceberg) kasus suap lainnya, yang diyakini sudah membudaya di kalangan elit parpol di Senayan. Meskipun tidak seluruh anggota Dewan/Majelis berjiwa garong, DPR lebih tepat diartikan “Dewan Pendusta Rakyat”, “Dewan Pendusta nan Rakus”!

Maka, no wonder lah, sebagian besar petinggi PDIP – kecuali Kwik Kian Gie – “kebakaran jenggot”. Sebab, sekali lagi, manakala ada insan PERS yang masih punya nurani dan bernyali baja kemudian mengungkap tuntas kasus itu; bukan tidak mungkin bakal terbongkar kasus kasus suap lain — oleh pihak pihak selain BPPN — termasuk terhadap Komisi yang penulis sebut di depan, oleh GOD knows who.

Lantas, PERS mana pula yang masih dapat kita percaya? Tidak seluruhnya, tetapi persis yang berkembang di Amerika, sebagian kalangan media RI tidak lebih merupakan kumpulan “Media Circus”. FAKTA, ke-4 petinggi media cetak terkemuka NKRI irtu, yang SENGAJA bersikap cuek bebek terhadap Draft Buku TEXMACOGATE penulis.

Iri ‘kali mereka, sebab anak buah mereka – para reporters yang katanya jagoan – ternyata TIDAK MAMPU secara pro-aktif mengendus berbagai praktik KKN busuk, dan Pelanggaran HAM buruh di TEXMACO. Kok justru eks insider TEXMACO, si bekas diplomat mbeling ini yang menguaknya? Para jurnalis payah, bo.

Mereka pikir Penulis kini “mati kartu”, tidak telah “nembak” Draft itu ke pihak pihak lain di NKRI dan di manca negara? Salah besar Tuan Tuan! Sungguh pathetic dan moronic para jurnalis senior itu. Kelompok jurnalis gombal pendusta publik. “Pembela” wong cilik the voiceless, seperti mereka kecapkan selama ini, ternyata hollow claim yang awfully disgusting! Again, Dad was right: anak anakku JANGAN ada yang jadi wartawan!

Masih ingat pula, kasus “hedging” spekulasi main Valas (kerugian US$ 700 juta?) oleh sebuah bank pemerintah terkenal, menjelang akhir 1997? Seorang redaktur salah satu Harian terkemuka di Jakarta, sebut saja Polan, diberi dokumen otentik oleh Pejabat Senior BI tentang ketidak-beresan petinggi bank yang main Valas itu.

Saat itu, November 1997 – Februari 1998, harga kertas koran impor (dikuasai kartel) sedang menggila. Seluruh media cetak NKRI sekarat, kecuali yang pakai kertas cetak lokal dan Harian besar yang dibanjiri iklan grup bisnis besar. Muncul “ide gila”, dalam obrolan makan siang, terhadap informasi klasifikasi A-1 itu, “Kita dapat memperoleh Rp. 2 Milyar dari elit Bank **** itu!”. Penulis nyeletuk, “Minta saja (kepada petinggi bank itu) stock kertas cetak enam bulan!” (Ya tahu, wong Penulis anaknya bekas publisher, bo).

Lalu timbul sedikit kericuhan internal, lebih dari satu Reporters secara terpisah mendatangi petinggi bank itu, dalam rangka cek-ricek kasus spekulasi Valas tsb. Akhirnya disepakati, di dalam rapat redaksi Proyeksi Berita dan/atau Newsbugeting, kasus besar itu perlu diekspos dalam Headline (di majalah, COVER STORY atau Laporan Utama).

Menjelang SU MPR terakhir era Pak Harto, kasus besar tersebut siap diangkat di Headline koran tsb. Mungkin ada “bisikan dari langit”, sebelumnya Tuan Polan sudah memberikan fotokopi dokumen otentik dari BI itu, kepada mitranya seorang redaktur satu majalah mingguan kondang skala nasional.

Singkat ceritera, satu malam, Tim Redaksi koran besar itu sudah menyelesaikan tugas akhirnya (pra-cetak). Materi headline siap cetak (deadline cetak, sudah SOP, pk. 00.10 WIB). Apalacur, sekitar 23.00 WIB, seseorang – barangkali Redaktur Eksekutif – mendapat an urgent call Big Boss koran itu. Perintahnya singkat, “Batalkan headline!”.

Same, old story among some crooked media tycoons in the USA. Swa-bredel diri. Beberapa bulan kemudian, masih dalam sitkon Krismon melilit industri jasa media cetak, penerbit koran itu mampu meluncurkan tabloid mingguan baru. Dana dari mana? YAKUZA atau dari Bank “anu” itu? Ternyata …….. I really feel sorry for this chap.

Sia sia swa-berangus diri itu, sebab majalah mingguan kawan Polan itu, beberapa minggu kemudian meng-expose kasus permainan Valas itu dalam Laporan Utamanya. Damn smart Polan, telah berbagi the only photocopy dokumen otentik itu. Bukan tidak mungkin pula, ke-4 petinggi media cetak terkemuka di atas (yang Penulis beri Draft TEXMACOGATE), kini memanfaatkannya pula untuk memeras elit TEXMACO, sebagai upaya busuk klasik “tahu sama tahu”. This author trusts NO more such Press-Whores.

Ngga’ percaya, kalau praktik memeras pebisnis kakap dilakukan juga oleh insan bisnis jasa informasi (digital-online maupun cetak)? Juni 2002, Penulis diberitahu seorang pebisnis jasa khas (bukan media cetak) di Jakarta, kawannya yakni wartawan tabloid sekaligus pengelola Website “panas” pembongkar praktik KKN telah nodong boss TEXMACO. Menurut nara sumber Penulis itu, Tabloid & Website wartawan itu berniat mengekspos (lagi) “Skandal TEXMACO”. Entah kasus baru yang mana, dan siapa pula narasumbernya, Penulis bertanya tanya sampai detik ini.

Menurut narasumber yang jasa khasnya laku keras itu, wartawan tabloid terkenal itu (kini nampaknya tidak terbit, tinggal yang Online) membatalkan NIAT membeberkan (lagi) Skandal TEXMACO; setelah ybs mendapat “hadiah” mobil Landcruiser dari big boss TEXMACO. Bukan tidak mungkin, wartawan itu juga mendapat “hadiah” sejumlah dana (minimal Rp. 200 juta) dari pebisnis kakap yang diperasnya itu.

Sebab, aneh bin ajaib dapetin dana segar dari Situs Purbakala yang mana, ujug ujug jurnalis mata duwitan itu mampu membangun bisnis WARNET di Selatan Jakarta (bukan Jakarta Selatan). Sanggupkah anda membangunnya, hanya dengan dana Rp. 150 juta? No way, man! WARNET kelas sepoor klutuk dengan “pulsa” kuda, ya mampulah!

NKRI memang negeri penyamun dan maling. Banyak PNS & Non-PNS berjiwa maling, ada pula segelintir wartawan berjiwa pelacur, dan tidak sedikit yang berjiwa serupa di kalangan elit Parpol besar dan kecil — di dan di luar Senayan.

Ndak percaya? Baca laporan terkini BPK bulan ini, berapa Trilyun rupiah dana negara yang ditilep garong di kalangan PNS. Silahkan baca pula, revisi ke-4, Opini Penulis INDONESIAKU: NEGERI PENYAMUN DAN MALING, Surat Terbuka Kepada Y.M. Presiden Hj. Megawati Soekarnoputri. Megawati dan suaminya, TK, telah Penulis kirim Opini tersebut, Sabtu petang, 24 Agustus 2002.

Reaksi mereka? BIG ZERO. Cuek bebek pula. Kecuali, surat rahasia Penulis kepada beliau disabot salah satu staf Presiden NKRI dan/atau asisten TK di Rumah Dinas Presiden RI di Jalan Teuku Umar No. 27A, Menteng. Sebab ketika surat tsb Penulis antarkan sendiri ke alamat itu, Presiden dan TK sedang menghadiri latihan perang TNI AL di Perairan Laut Jawa. Sungguh tidak masuk akal salah satu asisten terdekat presiden dan suaminya, apalagi seorang ajudan, telah berbuat jahat menyabot surat pribadi Penulis.

Atau memang SOP, di kalangan “inner circle” (lebih lebih dari unsur non-sipil) seluruh Presiden RI, yaitu HARUS MENYABOT seluruh surat pribadi warganegara kepada presidennya? Tak kampleng tenan, kalau Penulis tahu pelakunya! Tapi, sekali lagi, sungguh mustahil seorang AJUDAN melakukan tindakan tercela macam itu.

Berbeda dengan para ajudan Presiden Soeharto, yang merupakan Pamen pilihan selektif beliau sendiri (di-groom jadi calon pemimpin TNI/TNI AD, bahkan menjadi Wapres), nampaknya salah satu adjudan Presiden Megawati sengaja dipasang (bukan oleh Presiden Megawati) untuk “mengawasi” dari dekat “manuver” Megawati dan TK. Is this the case? Embuh, ora ngerti aku.

Simak kengototan Megawati mendukung Sutiyoso menjabat lagi Gubernur DKI. Megawati tersandera TNI? Siapa yang telah nodong Megawati? Take the presidency, Your Excellency; cuma sampai 2004 saja, ya? ‘kali itu deal-nya.

Kindly refer to my INDONESIAKU: NEGERI MALING. Banyak kalangan Wong Cilik di Jabotabek, juga di Jawa Tengah, sudah capek berat punya presiden wong sipil. Mereka merindukan era Pak Harto, sitkon gampang cari uang, aman, dsb. Some people agree, next president seyogyanya eks jenderal TNI (lagi) saja. SBY kah?

Kembali pada kasus suap oleh BPPN di depan dan indikasi sangat kuat praktik suap lain oleh elit TEXMACO, the TRUTH shall prevail. Sejauh menyangkut TEXMACOGATE, tunggu tanggal mainnya Insya’allah. Penulis “dilenyapkan” pun tidak akan menghentikan proses expose draft buku itu yaitu oleh pihak “independent invesigators” non-print media NKRI dan di manca negara.

Penulis akan tambahkan di dalam Draft Buku TEXMACOGATE, nama empat media cetak dimaksud. Sebab mereka sengaja menutup mata dan telinga terhadap “Skandal TEXMACO”. Skandal megatrilyun rupiah, yang melibatkan tidak cuma praktik suap, KKN, penipuan atas konsumen, “Mark Up” costs & komponen, dll – melainkan juga unsur baru pelanggaran HAM terhadap buruhnya, aktivis SPSI, orsospol “pembela” keterpurukan kaumburuh dhuafa (baca: TEROR pisik!).

SAY THE THE TRUTH, NOTHING BUT THE TRUTH! Kalau elit PDIP tetap bersikap Asal Ibu Senang, justru mengintimidasi kadernya yang berani mengungkapkan praktik suap; maka bersiaplah tangisan kucing menyaksikan “Banteng Beri Beri” masuk kotak pada PEMILU 2004. Mayoritas unsur bangsa besar (tapi keropos) ini, kaum buruh dan tani dhuafa (did I sound a bit Komunistik? C’mon, man; read my previous Postings), mereka DO NOT NEED Banteng Loyo lagi yang udeh lupe daratan.

Tuan Tuan, Nona Nona dan Ibu Ibu besar di PDIP (nyuwun ngapunten, Pakde Tardjo) catat ini: “Mas Yusuf, wis PDIP bakal kalah 2004. Sebab ORA mikiri wong cilik. Lha piye, digawekke dalan karo Pak Harto bae, ora becus ngopeni!” (sebagian di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta); “Pak, kite tidak mau nyoblos PDIP lagi, dll. Bohong semua! Kite mau GOLPUT aje! (sebagian Jabotabek, termasuk Bogor).

Turbalah kalian, selama reses, naik bis bis PATAS atau antarkota/antarpropinsi TANPA AC. Jelajahi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat, yang kini meranggas, kering kerontang — mau b****k pun susah cari air bersih! STOP politicking kalian di Jakarta, cengengesan di lobi lobi 5-Star hotels, makan steak dan dimsum melototin cewek cewek muda-stw sintal pula! Seporsi imported steak yang kalian lahap (<Rp. 100 ribuan), cukup untuk menghidupi satu keluarga di desa desa wilayah itu selama 20 hari!

How DARE you people, ngecap terus bicara soal moralitas! Lihat pula barak barak POLRI/Brimob/TNI – pengap, setiap hari bini dan anak anak mereka jadi mangsa nyamuk! Kalian? Molor, cengengesan, di Rumah Dinas Kalibata yang ber-AC, GRATISAN! Ngga’ bayar Pajak Pendapatan Pribadi pula! Gitu kok ‘brani ‘braninya gemagus, cengengesan, menepuk dada melulu sebagai Wakil Rakyat! Sungguh pathetic kalian (tidak seluruhnya lah, yang bernurani masih ada – cuma, some are gagu dan bahkan bisu).

Wassalam.

Yusuf bin Jussac

CARRY TRADE, BOM WAKTU YANG AKHIRNYA MELEDAK


CARRY TRADE, BOM WAKTU YANG AKHIRNYA MELEDAK

  • Perbankan Nasional Makin terancam

Derivatif Carry Trade, bukan istilah baru dalam dunia perbankan. Namun kini terasakan akibatnya sebagai “tsunami keuangan” yang meluluh lantakkan persendian ekonomi kita. Bisakah kita mengantisipasinya?

Oleh : Projusticia

Krisis keuangan yang terjadi di Amerika pada akhir September 2008 ditandai dengan jatuhnya Bear & Stern, Lehman Bros, Merryl Lynch dan AIG , disusul oleh jatuhnya Dow Jones ke tingkat dibawah 10000, terendah sejak tahun 2004 . Dalam sekejap dampak dari krisis ini berimbas kepada hampir semua pasar modal di dunia termasuk pasar modal Indonesia. Aksi jual terhadap saham saham unggulan di bursa effek Indonesia dipicu oleh aksi jual oleh investor asing, IHSG per November 2008 jatuh ke level 1241 atau menurun sebesar 53,82% dibandingkan satu tahun sebelumnya.

Krisis keuangan di Amerika yang kini mendunia menjadi global financial crisis, telah memantik kepanikan pada sektor perbankan internasional yang ditandai oleh pergerakan kurs dan suku bunga secara erratic diantaranya kurs yen yang menguat 40% terhadap US$ dari kurs 120 yen/US$ menjadi 89 yen/US$, demikian juga dengan kurs mata uang berbunga tinggi lainnya seperti Australian dollar dengan cepat terdepresiasi nilainya sebesar 38% terhadap mata uang yen. Ironisnya, gerakan menguatnya yen secara drastis dan melemahnya US$,AUD,NZD serta mata uang berbunga tinggi lainnya tidak terkait dengan fundamental ekonomi dari negara tersebut melainkan lebih banyak disebabkan oleh aksi unwinding instrumen derivative carry trade secara besar-besaran. Melikuidasi instrumen structured derivative semacam ini dalam volume besar dan searah dalam kondisi pasar yang tidak normal pada akhirnya menciptakan demand /supply baru, menguatnya yen terhadap US$ adalah akibat dari banyaknya demand pembelian yen untuk membayar kembali pinjaman dalam yen sebagai bagian dari proses unwinding sebaliknya menjual asset dalam US$,AUD,NZD akan menekan kurs mata uang tersebut kebawah. Aksi melikuidasi posisi derivative carry trade sejatinya dimaksud untuk membatasi jumlah kerugian (cut loss ) nyatanya telah menjadi booster terhadap laju kecepatan pergerakan kurs mata uang yang terlibat sehingga menjadi total loss.

Carry Trade adalah instrumen derivative yang dikenal dalam dunia perdagangan forex dimana investor menjual atau meminjam dalam mata uang ber suku bunga rendah untuk kemudian diinvestasikan kedalam asset mata uang yang berbunga lebih besar. Contoh sederhananya meminjam dalam mata uang yen dengan bunga 1% untuk kemudian hasil pinjaman tersebut di depositokan dalam mata uang australian dollar dengan pendapatan bunga 12%, atau diinvest kedalam intrumen obligasi recap mata uang rupiah dengan coupon rate 12% . Interest differential atau perbedaan suku bunga 11% merupakan pendapatan yang sangat menggiurkan dibandingkan dengan investasi dalam aset lainnya. Investor menilai bahwa risiko akibat pergerakan kurs antara 2 mata uang dapat tercover oleh pendapatan dari interest differential tersebut.

Dalam kurun waktu 3 tahun kebelakang ini instrumen derivative carry trade yen merupakan primadona para investor oleh sebab pemerintah Jepang tetap mempertahankan sukubunga dibawah 1% agar supaya produk ekpor jepang tetap kompetitif dan membiarkan kurs yen undervalued terhadap mata uang US$ dan Euro. Tidak ada data yang akurat mengenai besarnya volume carry trade yen. Bank for International Settlement (BIS) memperkirakan pada awal tahun 2007 volume carry trade yen telah mencapai jumlah US$ 40-50 triliun. Sulitnya mendapat angka yang akurat disebabkan sebagian besar transaksi dilakukan off balance sheet, dikemas dalam bentuk interest rate/currency swap maupun bentuk structured derivative lainnya.

Dalam transaksi carry trade yen, investor mengandalkan kepada kekuatan US$ terhadap yen dengan demikian akan merugi jika kurs yen menguat terhadap mata uang US$. Kondisi merugi juga dapat terjadi jika suku bunga yen naik dan penurunan suku bunga dari asset yang diinvestasikan. Selama jumlah kerugian tersebut dapat ter cover oleh pendapatan dari interest differential maka secara netto belum terjadi kerugian bagi investor.

INVESTOR INDONESIA

Instrumen derivative carry trade yen banyak ditawarkan sebagai produk oleh bank-bank asing yang beroperasi di Indonesia kepada korporasi maupun high networth individual sebagai alternatif investasi dengan yield pendapatan yang lebih besar ketimbang deposito dalam rupiah dengan yield 7% gross maupun deposito US$ dengan yield 3-4%. Oleh karena pergerakan kurs US$/yen cukup stabil selama kurun waktu 3 tahun kebelakang, maka tidak heran jika produk ini banyak digandrungi oleh investor Indonesia yang mempunyai deposito di Jakarta maupun yang selama ini menyimpan dananya sebagai deposito di Singapore melalui aktifitas private banking. Mengingat rendahnya suku bunga deposito dalam US$ dan rupiah disertai kepiawaian para marketing officers bank asing dalam menawarkan produk banknya, dapat di asumsikan bahwa volumenya cukup besar. Konon menurut informasi yang beredar di pasar ada satu bank asing yang beroperasi di Indonesia masih mempunyai tagihan kepada para nasabahnya sebesar US$700juta, ini setelah bank mencairkan jaminan margin deposito para nasabah tersebut. Atau dalam kata lain setelah para nasabah membayar kerugian akibat posisi carry trade yg dimilikinya melalui pencairan deposito yang dijadikan collateral, masih tersisa sejumlah US$700 juta kerugian yang tidak tercover oleh collateral. Sudah hampir pasti bahwa para nasabah tidak akan mau menombok sejumlah uang tambahan diatas collateral deposito yang sudah ludes. Alternatifnya bank yang harus menanggung sebagai kerugian operasionil. Melihat angka tersebut patut diduga bahwa volume carry trade yen yang terjadi selama ini dalam jumlah yang sangat besar. Bagaimana hal ini bisa luput dari pengawasan Bank Indonesia? Derivative ini tidak mempunyai underlying transaction , hanya memanfaatkan interest differential dikemas sebagai structured product ,dengan demikian jelas melanggar ketentuan yang ada. Akan kelihatan janggal jika ada seorang nasabah ibu rumah tangga kebetulan mempunyai deposito dalam USD pada bank di Jakarta meminjam dalam mata uang yen, kemudian memiliki asset obligasi dlm AUD. Oleh sebab itu sebagai cover up ,secara administrasi bank mengatur pembukaan perusahaan offshore yg bertindak sebagai proxy dari nasabah. Seluruh transaksi dilakukan atas nama perusahaan offshore, deposito atas nama nasabah dijadikan collateral menjamin transaksi atas nama perusahaan offshore tersebut.

Sejak medio 2007 sampai sekarang tidak diketahui sudah berapa besar kerugian yang diderita secara global oleh nasabah bank, institutional investor, hedge funds dan bank itu sendiri akibat dari instrumen derivative ini, jika berpegang kepada angka volume menurut BIS yang mengindikasikan bahwa secara global volume carry trade yen telah mencapai US$ 40 – 50 triliun, maka dengan assumsi mata uang yen menguat secara rata2 terhadap US$ dan mata uang lainnya sebesar 40%,maka sejumlah kurang lebih US$ 15-20 triliun telah menguap akibat instrumen derivative ini.

Bank Indonesia perlu segera mengadakan pemeriksaan seberapa besar volume carry trade derivatives baik yang sudah di unwind maupun yang masih outstanding yang dipegang oleh bank-bank di Indonesia baik atas nama bank itu sendiri maupun atas nama nasabah. Kerugian akibat intrumen carry trade tidak akan menyisakan apa-apa, seperti badai tsunami lajunya pergerakan kurs dalam kondisi pasar terbatas ( thin market) mengakibatkan jumlah kerugian akan melebihi jumlah deposito margin collateral. Akan sulit bagi bank untuk menagih sisa kerugian kepada nasabah yang telah kehilangan seluruh depositonya , sehingga bank terpaksa menanggung kerugian tersebut sebagai uncovered total loss.Berbeda dengan kerugian bank akibat NPL (non performing loan) setidaknya masih meninggalkan jaminan asset sebagai collateral serta perusahaan itu sendiri sebagai a going concern.

Dengan kata lain, gonjang-ganjing perekonomian di tanah air, khususnya sektor perbankan masih penuh dengan gelombang susulan dengan kekuatan yang sama besarnya—untuk tidak mengatakan lebih besar. Diperlukan kebijakan, juga kecerdasan dan keberanian para ekonom dan banker, atau bahkan seluruh ahli dalam bidang ekonomi. Negeri ini terlalu riskan kalau hanya diserahkan kepada satu atau dua orang yang kebetulan memegang kekuasaan.

Jakarta 150209

DEAL OF THE CENTURY


Gonjang ganjing mengenai penyelamatan Bank Century masih terus berlanjut, dengan segala macam teori yang barangkali membingungkan bagi khalayak ramai. Pembahasan masalah ini tidak hanya di mainstream media saja tapi termasuk juga di jejaring facebook, tweeter maupun personal blog di belahan dunia maya.  Bermunculanlah Inkar atau Instant Pakar dengan segala macam teori dan spekulasi politik. Banyak yang menentang namun tidak sedikit juga yang mendukung keputusan bail-out pemerintah dengan dalih  sistemik risk, domino effect serta alasan yang sangat klasik, yaitu di tengah krisis keuangan global mengambil langkah melikuidasi bank akan memperburuk  kondisi sektor keuangan dalam negeri.

Sayangnya hampir semua ulasan tidak disertai data-data, yang ada hanya kata-kata. Bedanya kalau data tidak bisa berbohong, apalagi yang telah diaudit oleh akuntan publik. Sementara kata-kata bisa berkelit. Akal sehat saya bertanya kenapa kita ini tidak pernah belajar dari pengalaman masa lalu? Lemahnya pengawasan terhadap operasional perbankan ditutupi dengan mengambil suatu langkah berupa kebijakan yang  keliru. Lemahnya pengawasan perbankan masih memungkinkan intervensi pemilik, menjadikan bank tersebut sebagai kendaraan untuk kepentingan kelompoknya. Bukankah ini symptoms sehingga terjadi fiasco perbankan nasional pasca krismon 1998? Apakah para pengambil keputusan “lupa” apa yang terjadi 10 tahun lalu, kemudian mengambil easy way out berlindung di balik krisis global 2008?

Sebagai  ilustrasi  untuk sekedar mengingatkan kita semua, terutama para instant pakar, bahwa langkah penyelamatan industri perbankan pasca krisis moneter 1998 memakan biaya Rp. 650 triliun. Terdiri dari BLBI (Bencana Luar Biasa Indonesia) kepada bank-bank swasta sebesar Rp. 225 trilliun dan penerbitan obligasi rekapitalisasi perbankan sebanyak  Rp.425,5 triliun. Jumlah ini sudah termasuk obligasi rekap untuk bank BUMN sebesar Rp. 280 triliun. Sampai hari ini langkah yang ditempuh pemerintah ketika itu masih menyisakan banyak masalah, khususnya BLBI, demikian juga bunga obligasi rekapitalisasi masih dibayar setiap tahunnya melalui APBN, sesuai dengan outstanding obligasi yang belum jatuh tempo/dicairkan.

Bukan main mahalnya biaya yang harus ditanggung oleh rakyat, padahal penyebab terpuruknya industri perbankan ketika itu lebih disebabkan oleh begitu banyak kredit disalurkan oleh bank BUMN maupun bank swasta ke kelompok usaha besar yang tidak prudent, bahkan nilai jaminannya jauh di bawah nilai kredit yang diberikan. Sebagian besar bank swasta beroperasi untuk kepentingan kelompok pemilik  atau pihak yang terkait. Lemahnya pengawasan bank sentral, yakni BI, membuat rambu-rambu pengawasan pun dilanggar tanpa konsekwensi. Memang pada akhirnya krisis moneter 98 menjadi klop untuk dijadikan alasan dan Rp. 650 triliun pun dianggap wajar sebagai ongkos sebuah krisis. Padahal kita semua tau pada akhirnya langkah penyelamatan tidak hanya menyelamatkan bank dan pemiliknya, tapi juga telah memberi keuntungan berlipat ganda kepada pemilik dan kelompok usahanya, atas beban uang rakyat.

Sekarang pemerintah melalui LPS telah mengambil langkah penyelamatan (bail out) dengan menyuntikan dana segar sebanyak  Rp. 6,7 Triliun ke Bank Century  dan mengambil alih seluruh kepemilikan saham. Apakah ini suatu kebijakan yang tepat? Dengan segala hormat kepada para pengambil keputusan, saya menganggap ini adalah suatu keputusan yang keliru. Bank Century sangat tidak layak untuk diselamatkan. Alasan saya adalah sebagai berikut:

Melihat komposisi neraca bank menurut audited statement 2006, 2007, 2008, khususnya difokuskan kepada periode 2007-2008, Bank Century bukanlah bank yang menjalankan fungsi pokoknya sebagai financial intermediary, menghimpun dana masyarakat untuk kemudian sebagai agent of development menyalurkan kembali dalam bentuk kredit. Dari total aset sebesar Rp. 10.4 triliun, pos pinjaman yang diberikan hanya Rp. 4 triliun (40%) termasuk di dalamnya pemberian kredit sejumlah Rp. 1,5 triliun lebih diberikan kepada pihak terkait atau kelompok usaha sendiri.

Diluar Giro Wajib minimum dan Fixed Assets, bank melakukan investasi berupa surat berharga effek sebanyak Rp. 4,3 triliun dan penempatan call money pada bank lain sebesar Rp. 2 triliun. Di sinilah kemudian terlihat ketidakwajaran dari intrument investasi yang termasuk dalam kedua kelompok aset tersebut.

1. Termasuk didalam kelompok surat berharga effek adalah instrumen US Treasury Strips, (Separate Trading of Registered Interest and Pricipal Securities) sebanyak US$ 177,000,000, perlu diketahui bahwa instrumen ini adalah US Treasury Bonds atau notes dengan jangka waktu 10 tahun ke atas yang telah dipisah interest coupon-nya dan dibuat menjadi instrument yang berdiri sendiri. Atau dalam arti lain instrumen ini sama dengan zero coupon bond alias tidak menghasilkan bunga sama sekali. Adalah suatu keanehan bagi bank komersil swasta untuk melakukan investasi dalam intsrumen semacam ini. Menurut laporan audit, instrumen ini dimiliki bank sejak tahun 2002. Lebih aneh lagi jika hal ini tidak diketahui oleh Bank Indonesia, sebab hal ini tercantum dalam neraca bank. Lebih ajaib lagi jika Bank Indonesia mengetahui hal ini tapi tidak melakukan tindakan apa apa, sebab sesungguhnya ini merupakan indikasi bahwa Bank Century telah melakukan praktek bank komersil di luar kewajaran.

Sebagai catatan sejumlah US$ 115,000,000 dari US Treasury strips telah dijaminkan kepada Saudi National Bank Corp sesuai dengan perjanjian tgl 7 Desember 2006 untuk menjamin fasilitas L/C Confirmation. Sisa instrumen ini sebesar $13,000,000 dipegang oleh First Gulf Asian Holdings sebagai custodian dan $45,000,000 dipegang oleh Dredner Bank sebagai custodian.

2. Termasuk didalam kelompok surat berharga effek ini adalah Medium Term Notes dengan total US$ 209,000,00 (setara dengan Rp 1.923.845.000) Terdiri dari Credit Suisse USD 63,000,000, Rabobank sebesar USD 20,000,000, Nomura Bank International Plc. London sebesar USD 67,000,000, JP Morgan sebesar USD 25,000,000, West LB sebesar USD 23,000,000, Banca Popolare sebesar USD11,000,000. Semua MTN milik bank telah dijaminkan kepada  Saudi National Bank Corp dan Credit Suisse untuk pembukaan fasilitas Letter of Credit, kecuali MTN JP Morgan sebesar $25,000,000 dan Nomura sebesar $ 40,000,000. Bank tidak menguasai secara fisik instrumen tersebut. Instrumen yang dijadikan jaminan dipegang oleh custodian bank, sedangkan sisanya dipegang oleh First Gulf Asian Holdings.

3. Selain kedua jenis instrumen diatas, bank juga memiliki Negotiable CD. Terdiri dari NCD National Australia Bank, London sebesar USD 45,000,000 (setara dengan Rp. 519.975.000), Nomura Bank International Plc. London sebesar USD 38,000,000 (setara dengan Rp. 439.090.000) dan Deutsche Bank sebesar USD 8,000,000 (setara dengan Rp. 92.440.000). Secara fisik penguasaan NCD tersebut berada pada First Gulf Asian Holdings selaku custodian.

4. Penempatan call money pada bank lain sebesar Rp. 2 triliun bukan karena bank memiliki kelebihan likuiditas, melainkan penempatan dana on call dilakukan sebagai fasilitas back to back untuk menjamin penerbitan Letter of Credit kepada pihak ketiga. Status  dari pos rekening ini menurut catatan auditor adalah sbb;

  • Pada tanggal 31 Maret 2008 saldo penempatan dana call money pada Credit Suisse Bank Singapore sebesar Rp. 221.217.713 (USD 24,032,343) untuk menjamin fasilitas pembukaan L/C impor. Pada tanggal 24 Nopember 2008 Credit Suisse Bank Singapore melakukan eksekusi atas penempatan dana tersebut. Sehingga saldo penempatan pada bank tersebut nihil.
  • Pada tanggal 31 Maret 2008 Bank menjaminkan dana dalam bentuk penempatan call money pada The Saudi National Commercial Bank (SNCB) sebesar Rp. 96.032.569 (USD 10,432,653). Pada tanggal 29 Januari 2009 The Saudi National Commercial Bank (SNCB) melakukan eksekusi atas penempatan dana tersebut. Saldo penempatan call money pada bank tersebut menjadi nihil.
  • Pada tanggal 31 Maret 2008 Bank menjaminkan dana dalam bentuk penempatan call money pada Bank International Indonesia sebesar Rp. 507.562.000 untuk menjamin kewajiban bank pada Bank International Indonesia sebesar Rp. 460.250.000 (USD 50,000,000).
  • Pada tanggal 31 Maret 2008 saldo penempatan dana call money pada PT Bank DBS Indonesia sebesar Rp. 191.714.622 (USD 20,827,277) untuk menjamin fasilitas pembukaan L/C impor. Dan pada tanggal 18 Nopember 2008 DBS melakukan eksekusi atas penempatan dana tersebut.

Asset Management Agreement

Pada tanggal 17 Pebruari 2006, Bank Century melakukan Perjanjian Asset Management Agreement (AMA) dengan Telltop Holdings Ltd, Singapore yang akan berakhir pada tanggal 17 Pebruari 2009, dalam rangka penjualan surat-surat berharga Bank sebesar USD 203,400,000. Selanjutnya dalam rangka pejualan surat berharga tersebut Telltop Holdings Ltd menyerahkan Pledge Security Deposit sebesar USD 220,000,000 di Dresdner Bank (Switzerland) Ltd. Perjanjian AMA tersebut telah diamandemen pada tahun 2007, dengan penambahan surat-surat berharga yang dikelola oleh Telltop Holding Ltd menjadi USD 211,400,000. Sebelum perjanjian AMA tersebut berakhir, pada tanggal 28 Januari 2009 Bank telah melakukan konfirmasi hasil realisasi penjualan surat-surat berharga tersebut kepada Telltop Holdings Ltd, namun hingga saat ini belum ada jawaban sehingga Bank melakukan klaim atas Pledge Security Deposit sebesar USD 220,000,000 kepada Dresdner Bank (Switzerland) Ltd.

Tanpa harus meneliti lebih dalam lagi, data komposisi aktiva di atas telah dapat memberikan gambaran bahwa bisnis inti Bank Century bukanlah kegiatan bank komersil sebagaimana diperkirakan oleh banyak orang selama ini. Outlet cabang utama, cabang pembantu dan kantor kas berfungsi sebagai show room untuk menghimpun dana pihak ketiga yang kemudian digunakan untuk membeli financial instrument, untuk kemudian melakukan akrobat financing melalui financial instrument yang menyesatkan seperti US Treasury strip, Credit Linked Notes, Credit default Swap, MTN dan sebagainya. Semua instrument yang dimiliki itu dalam denominasi valuta asing.

Timbul pertanyaan kalau dana untuk instrument tersebut berasal dari rupiah maka sudah pasti Net Open Position limit sudah dilampaui. Sulit untuk percaya bahwa Bank Indonesia tidak mengetahui hal semacam ini terjadi di Bank Century. Belum lama ini direktur bidang pengawasan BI mengatakan bahwa jika Century melakukan fraud maka akan memakan waktu untuk dapat mendeteksi, statement macam ini merupakan pernyataan yang keblinger dan tidak bertanggung jawab. Investasi dalam US Treasury strips, adanya Asset Management Agreement dengan Telltop Holdings tertanggal 7 Februari 2006 untuk mengelola penjualan surat berharga sebesar US$ 203 juta, kesemuanya di-disclose dalam laporan keuangan tahun bersangkutan (2006-2007). Adanya investasi dalam US Treasury strips sebesar US$ 177juta yang notabene adalah sama dengan zero coupon bonds, ditambah dengan Asset Management Agreement dengan Telltop Holdings seharusnya menjadi pemantik bagi BI untuk mengeluarkan kartu merah karena Bank Century telah menympang dari bisnis inti. Dan hal ini telah melanggar entah berapa banyak ketentuan PBI.

Hampir seluruh investasi dalam surat berharga maupun placement valuta asing telah di-pledge kepada bank lain untuk fasilitas LC dan fasilitas kredit kepada pihak ketiga, dan selalu ditunjuk sebagai custodian adalah First Gulf HoldingsAsia Limited yang juga pemegang saham berpengaruh pada Bank Century. Pemegang saham telah mengendalikan dan menggunakan bank untuk berspekulasi di pasar uang luar negeri dengan membeli instrumen berisiko tinggi termasuk structured derivatives. Melalui pledge of assets sebagai jaminan fasilitas oleh bank di luar negeri kepada pihak ketiga, kemudian menunjuk FGHA Ltd sebagai custodian, sama saja dengan memindahankan lapangan permainan dari dalam negeri ke luar negeri.

Bagaimana Bank Indonesia membiarkan hal seperti ini terjadi di luar kemampuan berpikir saya. Singkatnya, asset milik bank dalam negeri dalam valuta asing dijaminkan kepada bank di luar negeri untuk fasilitas kredit kepada pihak ketiga (bisa siapa saja termasuk kerabat dari pemegang saham), kemudian assets likuid tersebut dieksekusi oleh bank pemberi fasilitas dengan alasan wan prestasi. Dengan membiarkan ini terjadi maka Bank Indonesia telah membuka pintu keluar bagi arus dana bank. Bagi yang pro bail-out barangkali lebih tepat dikatakan bahwa langkah bail-out diperlukan untuk menutupi keteledoran BI, ketimbang alasan sistemik risk yang dapat berdampak negatif yang dihubungkan dengan krisis global 2008.

Sebaliknya menurut saya, justru karena krisis keuangan global 2008 maka permainan di dalam Bank Century dapat terbongkar. Seandainya tidak terjadi krisis di kwartal terakhir 2008, saya yakin bahwa kegiatan ini akan terus berjalan bagaikan bom waktu sampai akhirnya meledak dengan kekuatan yang lebih dahsyat dari sekedar Rp. 6,7 Triliun. Untuk sekadar menyegarkan ingatan kita semua, sebagai bahan pembanding saja, bahwa di tahun 2004, pemerintah melepas 51% kepemilikan saham di Bank Permata seharga Rp. 2,7T dan 51% kepemilikan saham di Bank Niaga dengan harga hanya Rp. 1,057T saja. Secara ukuran aset, sistem, network cabang dan human resources Bank Permata dan Niaga, tentunya berada jauh diatas Bank Century yang “dibeli” oleh LPS seharga Rp. 6,7T  dengan nilai asset bersih diperkirakan sekarang ini dibawah Rp. 3T.

Untuk membongkar kasus bank Century secara tuntas mau tidak mau investigasi harus dimulai dari tahun 2000 ketika masih bernama CIC Bank. Laporan hasil pemeriksaan BI yang dilakukan pada bulan Juli-Nov 2001 sesungguhnya memberikan gambaran kondisi bank  yang lebih realistis dengan berbagai macam pelanggaran perihal ketentuan CAR, NPL, Legal Lending Limit. Kondisi CIC ketika itu dapat dikatakan “setengah hidup”, hampir 70% sumber dana berasal dari GSM-102 financing dengan memanfaatkan perbedaan tanggal jatuh tempo fasilitas dengan jatuh tempo LC yang lazim disebut gapping maturity.

Hasil pemeriksaan BI tersebut ditindak lanjuti dengan surat BI tertanggal 22 Juli 2002 berupa teguran. Sebab management dan pemegang saham tidak menanggapi temuan dari hasil pemeriksaan BI November 2001 dengan suatu action plan yang dapat memperbaiki kondisi bank.

Kejanggalan:

CIC BANK ikut serta dalam program GSM-102 pada tahun 2000 dan 2001 dengan jumlah fasilitas yang diterima sebesar  US$ 953.9 juta diberikan oleh Commodity Credit Corp melalui USDA. Dana tersebut diterima dari tiga bank, yakni SCB US$ 191.4 juta, Bank Denver US$ 616 juta, dan Deutsche Bank US$ 146.5 juta.

Alokasi yang diberikan untuk Indonesia mencapai US$ 1,2 milyar, dimulai sejak bulan Oktober 1999 dengan plafon awal US$ 400 juta. Ada 14 bank lokal termasuk bank BUMN yang ditunjuk oleh BI sebagai bank pelaksana. Adalah suatu keanehan bahwa dari plafon yang diberikan kepada Indonesia sejumlah US$ 1,2 milyar, CIC Bank mendapatkan sejumlah US$ 950juta atau hampir 85% dari keseluruhan fasilitas. CIC Bank ketika itu adalah bank kecil yang baru mendapat izin sebagai bank devisa, tidak mempunyai track record sebagai international banking, tapi diberi rekomendasi oleh BI untuk mendapatkan plafon sampai US$ 950jt? Apakah CIC memiliki customer base yang melakukan transaksi import komoditi pertanian/peternakan dari USA yang sedemikian besar sehingga dipandang wajar untuk mendapatkan jumlah US$ 950 juta?

Fasilitas GSM-102 ini berjangka waktu 3 tahun (secara blanket). Ini bukan berarti bahwa fasilitas yang diberikan kepada importir juga 3 tahun. Fasilitas yang diberikan kepada importir tentunya mengikuti jangka waktu LC sebagai underlying transaction dan sifatnya self liquidating. Kelaziman trade financing jangka waktunya antara 3 sampai 6 bulan. Pada saat importir melunasi financing import tersebut, maka bank pelaksana harus melakukan pembayaran kepada bank pemberi kredit. Hal inilah yang tidak dilakukan oleh CIC Bank sehingga dapat memanfaatkan fasilitas GSM-102 sebagai suatu pembiayaan tetap berjangka waktu 3 tahun, dalam US$ dengan bunga rendah (karena 80% risiko kredit ditanggung oleh CCC). Hal ini tentunya sepengetahuan Urusan Pengawasan Bank di BI dan Urusan Luar negeri, sebab setiap penarikan fasilitas oleh bank pelaksana dimonitor BI. Karena penjaminan oleh CCC hanya sebesar 80%, sisanya sebesar 20% menjadi tanggungan BI.

Jadi dapat kita bayangkan dalam periode pasca krismon 98 dimana sebagian besar bank lokal masih berkutat soal BLBI dan Rekapitalisasi Perbankan, sumber dana pihak ketiga praktis tidak ada disebabkan oleh capital flight, pinjaman interbank lokal bisa mencapai ratusan persen, ada sebuah bank kecil bernama CIC Bank menikmati likuiditas murah untuk jangka waktu 3 tahun.

Praktek ini tentunya melanggar terms and condition yang melekat pada  fasilitas GSM-102. Seharusnya BI tidak mentolerir praktek ini karena di saat industri perbankan Indonesia harus membangun kembali kredibilitas di mata asing, malah menjadi skandal keuangan yang menjadi headline di tahun 2002, khususnya di kalangan pasar komoditi dan bankers acceptance. Sebagai konsekwensinya, alokasi penjaminan kredit untuk Indonesia dibekukan dan Indonesia di blacklist oleh CCC dan USDA. Program GSM-102 di hentikan dan baru dibuka kembali pada tahun 2005.

Berbekal kelebihan likuiditas dari fasilitas GSM 102, CIC Bank membeli instrumen pasar uang valuta asing. Melalui Chinkara Capital yang juga adalah pemegang saham, CIC menjadi bullish dalam membeli instrumen derivative semacam Credit Linked Notes  jangka menengah-panjang, US Treasury strips (sama dengan zero coupon bond yang tidak menghasilkan bunga). CLN yang dibeli sebesar USD 225 juta berkaitan dengan pinjaman pemerintah Indonesia yang akan jatuh tempo pada akhir 2005. CLN tersebut menjadi jeblok oleh karena pemerintah meminta perpanjangan waktu atas pinjamannya, otomatis mempengaruhi instrumen derivative yang terkait. Selain masalah GSM102, juga terdapat penyalahgunaan dana hibah PL-416 untuk kacang kedele sejumlah USD 24 juta yang menjadi masalah sejak tahun 2000, sehingga dana sempat diblokir oleh Chase New York.

Sebenarnya masalah CIC Bank ini sempat mencuat di tahun 2002, kasusnya sempat digelar di Kejaksaan Tinggi Jakarta. Bahkan Darmin Nasution yang ketika itu menjabat sebagai Dirjen Lembaga Keuangan DepKeu (sekarang pejabat Gubernur BI) membuat statement bahwa diduga ada penyelewengan yg dilakukan oleh oknum di BI, dan beberapa pejabat telah diperiksa. Tapi entah kenapa perkara tersebut menguap begitu saja, kemudian malah dilakukan merger pada thn 2004.

Proses Merger

Sampai dimana peranan BI sehingga management CIC Bank melakukan  investasi dalam instrumen CLN-ROI sebesar USD 225 juta? Apakah disini terdapat konflik kepentingan, karena instrumen derivative ini terkait dengan pinjaman pemerintah Indonesia yang ternyata kemudian menjadi default, sehingga harga instrumen tersebut berkurang nilainya sampai 50%? Mengetahui hal ini BI memfasilitasi proses merger CIC Bank dengan Pikko dan Bank Danpac pada thn 2004, dilakukan dalam tempo yang relatif singkat. Seluruh investasi CIC Bank dalam instrumen derivatif pasar uang valas terbawa dalam neraca konsolidasi tanpa di-mark to market, yang kemudian neraca tersebut menjadi neraca Bank Century.

Terkesan bahwa proses merger ini dipaksakan. BI walaupun mengetahui secara jelas kualitas aset yang ada pada CIC Bank, khususnya surat berharga yang nilainya rendah, membiarkan pembukuan dengan face value yang kemudian nilai asset2 tersebut terbawa terus sampai thn 2008, dimana krisis keuangan global yang terjadi di bulan September 2008 menjadi pemantik untuk melakukan langkah yang lebih konyol lagi, yaitu menyuntikan dana sebesar Rp. 6.7 triliun.

Sampai dengan periode sebelum bail out beberapa pertanyaan  belum terjawab, yang menurut hemat saya menjadi cikal bakal terjadinya bail out:

  1. Mengapa CIC Bank diberikan plafon penjaminan kredit GSM-102 begitu besar? US$ 900 juta merupakan jumlah yang melebihi total aset CIC Bank ketika itu. Patut dicurigai bahwa terdapat transaksi LC fiktif yang dipergunakan hanya sebagai underlying transaction, untuk dapat melakukan drawdown atas fasilitas GSM-102.
  2. Mengapa BI membiarkan CIC Bank melakukan sidestreaming fasilitas GSM-102, diluar dari spirit trade financing, untuk kemudian seolah-olah menjadi fasilitas fixed loan berjangka waktu 3 tahun? Padahal dalam hal ini pemerintah menjamin 20% dari jumlah yang ditarik sehingga apabila CIC Bank tidak dapat mengembalikan pinjaman maka pemerintah harus menanggung 20% atau US$ 190 juta.
  3. Dengan jangka waktu fasilitas GSM-102 yang 3 tahun, maka sebagian besar fasilitas ini akan jatuh tempo di tahun 2003. Mengetahui hal ini mengapa BI membiarkan CIC Bank membeli instrumen derivative CLN-ROI sebanyak US$ 225 juta yang diterbitkan oleh Deutche Bank dan CSFB, yang akan  jatuh tempo di akhir thn 2005?
  4. Di samping itu, BI membiarkan CIC Bank melakukan investasi dengan membeli US Treasury Strips sebesar US$ 177 juta berjangka waktu 10 tahun dan tidak berbunga. (catatan: US Treasury Strips adalah instrumen yang diterbitkan oleh Bank Sentral Amerika berupa Bonds berjangka waktu 10 tahun dimana coupon pembayaran bunga setiap 6 bulan telah dipisahkan (strip) dan dijadikan instrumen bond tersendiri. Dengan demikian US Treasury strip Bond hanya terdiri dari prinsipalnya saja atau sama dengan zero coupon bond).
  5. Tanpa harus melihat kepada investasi lain yang dilakukan oleh CIC Bank, BI yang merekomendasikan CIC Bank sebagai salah satu bank pelaksana GSM-102 dengan plafon US$ 950 juta, mestinya tahu bahwa dana yang diperoleh dari GSM-102 telah disalah-gunakan untuk membeli instrumen derivatif Credit Linked Notes-ROI, instrumen dimana kualitas baik-buruknya akan tergantung kepada keputusan BI sendiri. BI tahu bahwa akan terjadi mismatch dalam jangka waktu.
  6. Irregularities ini sesungguhnya sudah diketahui dari bulan Juli 2001, akan tetapi ditutupi. Sempat digelar perkaranya oleh kejaksaan tinggi pada tahun 2002, kemudian menguap begitu saja. Jalan melakukan merger pun ditempuh di tahun 2004. Itu pun tidak menolong bahkan semakin terkuak kena imbas krisis global September 2008. Mengapa BI begitu ngotot untuk melakukan bail-out dengan jumlah yang sangat fantastis? Barangkali, seperti halnya pasca krismon 1998, dalam skala yang lebih kecil Rp. 6,7 T dapat di-justified sebagai ongkos sebuah krisis? Wallahualam.

Aliran dana Keluar

Untuk menelusuri aliran dana yang keluar dari bank dapat di mulai  dengan meneliti seluruh fasilitas back to back yang dibukukan pada bank lain di luar negeri, dimana fasilitas tersebut dijamin oleh penempatan dana bank dalam bentuk placement maupun deposit pada bank tersebut. Tercatat ada 2 bank di luar negeri yang memberikan  fasilitas back to back tersebut yaitu Credit Suisse Singapore dan Saudi National Commercial Bank. Di samping itu ada 2 bank lokal, yaitu DBS Bank Indonesia dan Bank Internasional Indonesia. Seluruh dana yang dijaminkan untuk fasilitas back to back di bank luar negeri maupun dalam negeri telah dieksekusi dengan melaksanakan set-off, jumlahnya mencapai Rp. 5T lebih. Jika diperhatikan menurut laporan audit, tanggal eksekusi dari setting off tersebut terjadi pada akhir tahun 2008 dan bulan Maret 2009, atau periode setelah dana bail-out dikucurkan.

Penelusuran aliran dana keluar yang dilakukan melalui rekening tabungan, giro maupun deposito, sebenarnya cukup melihat kepada periode 3 bulan, yaitu dari bulan November 2008 sampai Maret 2009. Karena dari laporan keuangan yang dibuat per akhir Maret 2009, terlihat penurunan dana pihak ketiga dari Rp. 10,2T menjadi Rp.4,9T di bulan maret 2009, atau terjadi funds outflow sebesar Rp. 5.3 T.

Ibu pertiwi kembali bersedih.

PROJUSTICIA

Setoran Modal Dalam Bentuk Tunai Oleh LPS Ke Century Patut di curigai


Sayangnya audit BPK mulai meriksa hanya darI priode merger yaitu 2005, walaupun disinggung masalah Chinkara Capital sebagai salah satu pemegang saham CIC , begitu mudah diberi persetujuan oleh BI untuk mengakuisisi bank Danpac dan bank Pikko pada bulan nop 2001. Padahal Chinkara tidak memenuhi syarat sebagai investor bonafide.

Didalam tulisan saya “Deal of the Century” saya mundur kebelakang ke thn 2000 ketika CIC mendapatkan pembiayaan GSM102 sebesar $950jt atas rekomendasi serta back up BI. Menjadi pertanyaan besar ada apa sampai mendapat support yang demikian besar di saat industri perbankan nasional sedang terpuruk dan dilakukan proses restrukturisasi perbankan secara nasional. Sumber dana praktis tidak ada kecuali dari BLBI dan obligasi rekap. Patut diduga bahwa CIC melakukan praktek perbankan yang miring sehingga bisa mendapatkan pembiayaan GSM 102 yang sejatinya adalah trade financing menjadi pembiayaan tetap selama 3 tahun.
Apa yang dikemukakan BPK mengenai banyaknya kemudahan dari BI serta deviasi terhadap aturan merger pada tahun 2005, kemudian kewajiban BC yang di cuek bebek adalah merupakan suatu AKIBAT dari keterlibatan petinggi BI dengan CIC dalam persoalan GSM102, serta pembelian SSB peringkat rendah sejak thn 2000. Program GSM-102 danPL-416 menjadi skandal yang memalukan bagi indonesia di mata asing pastinya melibatkan pejabat BI sebegitunya menghalalkan segala cara melabrak rambu2 kontrol yang ada sampai terjadinya merger menjadi BC. Permasalahan bukannya selesai malah menjadi bola salju, ini akibat dari investasi dalam instrumen yang semi bodong di carry over at face value kedalam neraca BC merger.Para pemegang saham dan pengelola utama CIC yg kemudian menjadi Century begitu leluasa melakukan acrobat financing di depan hidung BI dari mulai merger sampai thn 2008, tidak lain sebabnya telah mengantongi pejabat BI yang terus tereret eret sejak thn 2000. Apa yang terjadi kemudian kita semua sudah tau. Hari ini dikejutkan lagi dengan fakta bahwa ternyata dari dana penyertaan modal LPS sebesar 6,7T, sebanyak 5,2T adalah dalam bentuk tunai yang disetorkan secara bertahap:

Tahap I. 2,7T disetor sebanyak 6x sejak 24 nov – 1 Des 2008. Semua cash.
Tahap 2. Rp. 2.2T disetor sebanyak 13x. Dari tgl 9 Des- 30 Des 2008 kesemuanya dalam bentu tunai kecuali tgl 23 Des sebesar 445mliyr dlm bentuk SUN.
Tahap3 . Rp.1,1T sebanyak 3x setoran tgl 4 dan 24 febr 2009 dalam bentuk SUN 1T dan tunai 150milyar.
Tahap 4 Rp.630m setoran tunai 1x tgl 24 july 2009.

BPK menyajikan angka tersebut dalam laporannya, namun tidak dibahas masalah keganjilan bentuk setoran tunai.

Penyertaan modal dalam bentuk tunai yang begitu besar memberi peluang untuk menghilangkan jejak, singkatnya uang tunai masuk kedalam brandkas bank dengan entry pembukuan meng kredit pos penyertaan modal LPS, selanjutnya uang tunai bisa ditenteng keluar oleh pemegang saham atau pihak terkait lainnya cukup dengan membukukan sbg pencairan deposito, atau yang lebih canggih lagi yaitu menghapus bukukan transaksi back to back kredit dengan bank koresponden di luarnegeri yg sudah terjadi sebelumnya.
Laporan audit indendent BC thn 2008-2009 menyatakan bahwa hampir seluruh placement BC maupun surat berharga telah dijaminkan pada Saudi International Bank dan Credit Suisse Singapore untuk fasilitas credit kepada pihak ketiga. Atas fasilitas tersebut telah dilakukan eksekusi atau di lakukan setting off pada bulan Mei 2009, sehingga saldo placement, deposito dan surat berharga yang telah dijaminkan menjadi nihil. Disinilah kemudian alur dari aliran dana menjadi terputus karena terhenti pada penarikan secara tunai yang tidak meninggalkan paper trail sehingga sulit untuk menditeksi siapa yang menerima.

Dugaan saya alasan yang akan dikemukakan mengapa penyertaan modal LPS dilakukan dalam bentuk tunai kurang lebih berkisar “ mengantisipasi akan ada rush ”. Alasan ini tidak masuk akal karena settlement untuk nasabah century yang benar2 nasabah dengan saldo dibawah 2m dapat dilakukan melalui Mandiri dengan transfer atau pemindah bukuan. Dijaman IT dan real time transaksi perbankan melalui jaringan yang sudah established , tindakan menyetor dalam bentuk tunai merupakan indikasi yang kuat menambah kecurigaan masyarakat bahwa dibalik bail out BC terdapat suatu konspirasi besar yang perlu di usut secara seksama sampai tuntas ke akar akarnya. Once and for all menjadi pelajaran bagi semua pemegang amanah bahwa kini bukan saatnya lagi membohongi rakyat dengan segala jargon dan terminologi keuangan untuk mencari pembenaran. Kali ini ungkapkanlah kebenaran para pemberi amanah sudah haus akan itu.

Hai orang orang yang beriman janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul dan jangan menghianati yang diamanatkan kepadamu padahal kamu mengetahui.
(QS AL ANFAAL:27

Bom Waktu Dibalik Kasus LC BNI


Bom Waktu di Balik Kasus BNI

Projusticia

Di balik kasus pembobolan BNI senilai Rp1,3 triliun, ada banyak pertanyaan yang harus bisa dijawab. Jika tidak, hal ini merupakan penghinaan terhadap akal sehat dan besar kemungkinan terjadi pada cabang BNI lain dengan cara yang kurang lebih sama.

Kasus L/C BNI telah lebih dari setahun mencuat ke permukaan. Pengadilan juga telah menjatuhkan vonis kepada para terdakwa dari Grup Gramarindo serta tiga karyawan BNI Cabang Kebayoran.

Namun penyelesaian kasus ini masih menyisakan banyak pertanyaan. Antara lain, siapa sebenarnya sutradara di balik kasus ini? Sejauh mana BNI terekspos untuk kerugian yang lebih besar? Apakah ada kasus serupa di cabang lain yang melibatkan nasabah lain?

Terhenti di nasabah

Ironis sekali bahwa penyidikan oleh polisi hanya terfokus pada nasabah dan tidak ditindaklanjuti ke dalam intern BNI yang lebih atas dari sekadar tingkat cabang.

Walaupun pengadilan telah menjatuhkan vonis terhadap Koesadyuwono selaku pimpinan cabang dan Nirwana Ali, pimpinan cabang ad interim BNI, publik perlu mengetahui bahwa keduanya tidak lebih hanya sebagai innocent bystander. Mereka telah diperdaya oleh Eddy Santoso, kepala bagian customer service luar negeri, yang secara struktural adalah bawahan mereka. Mengapa mereka mau ‘diatur’ oleh Eddy? Apakah karena Eddy Santoso merupakan kakak kandung salah satu petinggi BNI yang merupakan pimpinan langsung kedua orang itu?

Dari fakta dalam persidangan dan rincian hasil audit intern BNI jelas peranan Eddy Santoso sebagai pelaku utama di tingkat cabang yang mempunyai keleluasaan untuk memberikan diskonto, mengatur ‘pengiriman’ dokumen ekspor, dan pendebitan atas rekening nasabah tanpa persetujuan nasabah. Pendeknya melakukan pelanggaran atas rambu-rambu trade financing yang lazim.

Tapi apakah mungkin seorang Eddy Santoso, dengan posisi manajemen lapis ketiga di cabang, melakukan ‘acrobat’ ini sendirian tanpa melibatkan orang di divisi treasury, divisi luar negeri, dan mengelabui internal control dan Divisi Kepatuhan di Kantor Pusat?

Beberapa kejanggalan

Terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah L/C yang diterima Grup Gramarindo menurut versi BNI dan yang sebenarnya diterima menurut Gramarindo. Ini dibuktikan dengan data rekening koran masing-masing perusahaan penerima dana L/C.

Menurut BNI, jumlahnya US$154,400,000. dan euro56,114,446. Sedangkan menurut data rekening koran Grup Gramarindo, jumlahnya US$130,499,522 dan euro 54,018,181. Artinya, terdapat selisih US$23,900,477. dan euro2,096,254. yang menjadi beban Gramarindo. Penyidik gagal mengungkapkan ke mana atau di mana letak perbedaan jumlah tersebut yang jika dikonversikan ke dalam rupiah dengan kurs pada waktu itu sama dengan Rp220 miliar. Jadi, ke mana raibnya uang sebesar itu?

Masyarakat berhak mengetahui berapa sebenarnya kerugian yang diderita BNI akibat dari transaksi L/C Grup Gramarindo. Yang jelas bukan Rp1,7 triliun. Jika melihat bukti dokumen di dalam proses penyidikan dan meneliti dengan seksama laporan rincian hasil audit yang dibuat Tim Pengawasan Internal BNI pada Agustus/September 2003, tidak ada pembayaran untuk menutup outstanding L/C yang berasal dari issuing bank. Semua pembayaran untuk menutupi L/C yang telah jatuh tempo berasal dari Grup Gramarindo sendiri. Langsung atau tidak langsung melalui rekening pihak ketiga, dimana sumber dana pengembalian tersebut berasal dari L/C yang di diskonto di BNI juga.

Dari data rekening koran dapat pastikan bahwa dari jumlah L/C US$130,499,522 dan euro54,018,181 telah dikembalikan kepada BNI secara langsung maupun melalui rekening pihak ketiga sebanyak US$89,550,735. Dengan begitu outstanding kewajiban LC Gramarindo kepada BNI yang sebenarnya adalah US$40,948,786 dan euro54,018,181 atau (eq Rp) Rp861 miliar.

Jumlah ini hanya separuh dari yang selama ini digembar-gemborkan sebesar Rp1,7 triliun. Dalam RUPS Luar Biasa Desember 2003 BNI menyatakan penyimpangan L/C mencapai Rp1,7 triliun dengan potential loss sekitar Rp1,3 triliun. Bahkan dalam RUPS disetujui untuk melakukan write off sebesar kurang lebih Rp950 miliar akibat transaksi pendiskontoan L/C oleh Cabang Kebayoran Baru, Jakarta.

Dalam rincian hasil audit intern BNI (poin 7) dinyatakan bahwa ada penyelesaian diskonto usance L/C sebesar US$10,149,745 ( terdiri atas 4 L/C yang didiskonto pada 2002) dengan mendebit rekening nasabah tanpa persetujuan terlebih dahulu dari nasabah. Hal ini dilakukan cabang karena Rekening Antar Kantor (RAK) devisa cabang telah didebet oleh Kantor Pusat Internasional. Jadi cabang hanya merespons suatu transaksi yang diinisiasi lebih dulu oleh kantor pusat.

Di sini terlihat keterlibatan kantor pusat yang patut diselidiki lebih lanjut mengingat dalam transaksi ini tidak pernah ada pembayaran dari issuing bank sehingga dasar underlying transaction pendebitan RAK devisa cabang oleh kantor pusat menjadi pertanyaan. Boleh jadi transaksi ini tidak berkaitan sama sekali dengan Gramarindo melainkan untuk nasabah lain.

Banyaknya transaksi menggantung pada pos RAK bank, terlebih lagi dalam valuta asing, sering dijadikan tempat ‘persembunyian’ transaksi siluman. Ini dimungkinkan karena tertundanya proses reconcilement antara pos RAK dengan bank statement yang sesungguhnya.

Kegagalan penyidik dan Divisi Kepatuhan BNI untuk menelusuri lebih lanjut tanda-tanda adanya konspirasi dalam intern BNI pada tingkatan yang lebih tinggi merupakan bom waktu yang dapat meledakkan wajah perbankan di Indonesia di kemudian hari.

Bom waktu

Dari penelusuran arus dana hasil diskonto L/C terdapat nama Cadmus Pacific Pte Ltd menerima US$28,660,987 dan Capital Gain Ltd menerima US$15,311,765. Suatu jumlah yang cukup besar atau 34% dari total diskonto L/C. Dalam proses penyidikan sampai dengan proses peradilan tidak dapat diungkapkan siapa di belakang kedua perusahaan tersebut.

Anehnya lagi dari Cadmus Pacific Ltd diketahui melakukan beberapa kali transfer pembayaran dengan total $7,470,980 kepada BNI New York dalam kurun waktu enam bulan dan dari Capital Gain Ltd dua kali pembayaran dengan total $4000,000. Ini menggambarkan bahwa kedua perusahaan ini sangat berperan dalam transaksi diskonto tersebut.

Cadmus adalah perusahaan berdomisili di Singapura bukan BVI company sehingga data mengenai perusahaan ini merupakan public record. Jika BNI serius untuk mendapatkan recovery, melalui Bank Indonesia dapat meminta MAS –Monetary Authority of Singapore–untuk melakukan intervensi. Bahkan melakukan pemblokiran atas rekening Cadmus Pacific.

Dengan kata lain, kasus besar (Rp1,7 triliun) sebenarnya tetap tak mengungkapkan secara transparan apa yang sesungguhnya lebih besar lagi, yakni sebuah jejaring ‘kerja sama’ yang tanpa disadari terus berlangsung. Tanpa pengungkapan yang tuntas, kita tak akan menang dalam perang melawan kejahatan perbankan. Kasus ini juga akan menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja dengan akibat yang mengerikan. Karena itu, sebaiknya Kabinet yang baru memasukan kasus ini dalam ‘program 100 hari’. (www.mediaindo.co.id/)


Batasi Offshore Rupiah


Kepada yth;

Redaksi Harian Kompas

Jakarta. SURAT PEMBACA.

GERAKAN CINTA RUPIAH- BATASI SUPPLY OFFSHORE RUPIAH.

Salah satu penyebab krisis moneter yang sedang dialami oleh Indonesia adalah ulah para spekulator mata uang di pasar valuta asing “offshore” yang memperdagangkan mata uang rupiah dengan dollar. Hal ini dimungkinkan sejak proses internasionalisasi mata uang rupiah beberapa tahun lalu melalui liberalisasi sektor perbankan dan pasar modal . Para investor asing masuk ke Indonesia untuk membeli “rupiah denominated assets” melalui instrumen pasar uang dan portfolio equity, dan sebagai konsekwensinya maka tercipta instrumen derivatif rupiah berjangka sebagai alat hedging para investor asing terhadap investasinya dalam rupiah.

Pengalaman dalam 5 bulan terakhir ini terlihat jelas peranan para pelaku pasar valuta asing “offshore” dalam menentukan arah kurs rupiah terhadap dollar .— dimungkinkan karena jumlah rupiah “offshore” yang dimiliki oleh pelaku pasar di luar negeri cukup besar jumlahnya.

Dalam upaya kita untuk menstabilkan kurs rupiah terhadap dollar ke tingkat 4500-5000,- per dollar maka harus ada upaya dari Bank Indonesia untuk memonitor dan membatasi jumlah “offshore” rupiah, baik yang dimiliki oleh kelompok bukan penduduk (non residents) maupun oleh penduduk (residents) yang diparkir melalui rekening perusahaan “offshore”.

Jumlah rekening nostro maupun giro dalam mata uang rupiah yang dimiliki non residents pada bank-bank di Indonesia atau cabangnya di luarnegeri memberikan indikasi tentang kekuatan rupiah yang dipegang oleh para pelaku pasar valuta “offshore”. Membatasi kran rupiah yang dapat diakses oleh para spekulator asing berarti mengurangi daya beli $/Rp.mereka yang selama ini cenderung untuk didorong keatas.

Menurut hemat saya adalah wajar bagi Pemerintah kita untuk mengontrol arus rupiah walaupun menganut sistim devisa bebas ……afterall rupiah adalah milik bangsa Indonesia dan kita cinta rupiah !!!

Jakarta 15 Januari 1998.