Bagaimana dengan pemberangusan para Whistleblowers di NKRI? Deretan panjang kematian misterius beberapa tokoh nasional, kini ditenggelamkan kasus kasus baru-terkini. Ingat “kecelakaan” mobil (di Mesir?), yang dialami tokoh Nahdliyyin reformis Subhan Z.E.? Juga Jaksa Agung Baharuddin Lopa di Saudi Arab? How about Hamdun?
Masih ingat “Skandal” Mega-Milyar di KOSTRAD, yang dua tahun lalu diekspos oleh PangKostrad AWK? Jenderal “santri” yang dicap kontroversial itu, mendadak juga “wassalam” akibat — menurut penjelasan “resmi” yang digulirkan — tekanan darah tinggi. AWK wafat ketika berstatus no more PANGKOSTRAD.
Only GOD knows, penyebab sesungguhnya “AWK’s untimely demise” itu. “Untimely death”, sebab almarhum tidak mengidap “jantungan”. Jenderal jantungan tidak bakal dipromsikan jadi Panglima KOSTRAD. Amati Jenderal Ryamizar yang kini KASAD; gagah perkasa selalu tampil on top form. Wow, calon PANGLIMA TNI. Good luck lah, General.
Dibungkam, di-blackmail (pemerasan politis dan/atau seksual), diteror mental, dipecat dari kantornya, diisolir, diboikot (dari “nyanyi” menulis kisah nyata di media cetak), dan paling buruk “dilenyapkan” – merupakan modus operandi Organisasi/Pemerintah Bayangan di manapun di dunia terhadap “Vokalis” seperti itu. Singkatnya, “suppressing the truth”, alias pemberangusan upaya SAH mengungkapkan berbagai praktik busuk internal organisasi/ kelompok politik/bisnis dan birokrasi.
Bukan tak pernah, Opsus seperti itu digelar mengatasnamakan “Keamanan Nasional”. Dalam kasus suap oleh BPPN, elit DPP Banteng overweight jelas kebakaran jenggot. Sebab jika kasus itu dibongkar tuntas, nampaknya bakal menguak kasus kasus suap serupa oleh pihak pihak lain kepada segelintir elit PDIP.
Dalam pada itu, Penulis lupa Komisi mana di DPR yang menangani (V atau IX?), namun jelas membahas Pre-Shipment Facility Bank Indonesia kepada TEXMACO group. Kasus itu menjelang akhir 1999 digulirkan Menneg BUMN Ir. Laksamana Sukardi.
Orang yang tidak dungu bakal bertanya tanya, faktor apa pula yang memotivasi Komisi itu (dalam Sidang sesi terakhir kasus itu 3 Juli 2000) memutuskan “Case Closed”. Artinya, TEXMACO “clear”. Kasus itu disudahi. Dan Ir. Laks pun gigit jari.
Sedangkan pakar ekonomi, seperti Sri Mulyani, PhD., Koordinator Indonesian Corruption Watch/ICW Teten Masduki, dan Menteri Kwik Kian Gie, dll (kelompok pengeritik “deal” tertutup antara BPPN dan elit TEXMACO) — mendapat label sebagai Konspirator jahat bermaksud menghancurkan TEXMACO. Begitu pula cap terbaru bagi James Riady dan Antony Salim.
Hanya beberapa minggu setelah pernyataan kerasnya di DPR akan memburu pelaku KKN, bahkan kawan kawan dekat Presiden RI waktu itu — berkaitan dengan “Kasus TEXMACO” — Jaksa Agung Baharuddin Lopa akhirnya “wassalam” secara misterius pula di Riyaad, Arab Saudi. Lha, apa pula kaitannya, kok Kepala BIN Saudi pun lalu dipecat?
Tidak diketahui kalangan PERS (cetak/elektronika) yang jujur di NKRI, beberapa minggu sebelum Jaksa Agung Lopa wafat, seorang Jaksa Senior menyatakan keinginan dapat bertemu dengan Big Boss grup itu. Lalu, suatu malam 29 Juni 2001, dilakukan “pertemuan rahasia” antara petinggi grup itu dan Tuan “X” (Jaksa senior itu?) di kawasan Kemang.
Tuan X dijemput tiga staf Kantor Pusat grup itu, menggunakan mobil tergolong mewah milik TEXMACO; dari satu lokasi “A” — ke lokasi “B”tentunya venue pertemuan rahasia di Kemang itu. Salah satu penjemput “tamu penting” itu, eks wartawan pula!
Kembali pada sesi terakhir Sidang Komisi itu dengan para petinggi TEXMACO 3 Juli 2002, ada keanehan yang layak dicermati dan dipertanyakan. Penulis duduk di kursi depan, sederetan dengan Presdir TEXMACO Sinivasan (hanya dibatasi dua eksekutif senior grup itu), berhadapan dengan deretan kursi Ketua Sidang & para deputi/sekretaris.
Pada posisi “jam 13.00”, di sisi kanan deretan kursi elit TEXMACO, terdapat deretan kursi anggota Komisi berhadapan dengan tempat anggota lain. Sidang sempat memanas, ketika seorang “Vokalis” muda PDIP anggota Komisi itu mencerca Sinivasan. Sinivasan pun sempat terbawa emosi, menyatakan diri juga punya harga diri. Nah, Lo!
Ketika Sidang sudah berlangsung sekitar 10 menitan, penulis melihat seorang anggota Komisi itu memasuki ruang Sidang, dan menempati deretan kursi anggota pada lokasi jam 13.00 itu. Cermati ini: anggota Dewan itu berperawakan tinggi besar, sekitar 178 – 180 cm, 80 – 90 kg, berkumis dan berpipi “tambun”.
Sekali lagi, akhir dari Sidang itu adalah “Case Closed”. Timbul teka teki di benak penulis. Seberapa besarkah, peran orang tinggi besar itu atas keputusan Sidang tsb? Mungkinkah telah terjadi “deal” antara orang itu mewakili Komisi, dan Sinivasan sebelum sesi terakhir Sidang itu? Bukan tidak mungkin. Simak pula yang berikut ini:
Kurang dari dua minggu sebelum Sidang sesi terakhir itu, di Lantai 10 Gedung SENTRA MULIA Kantor Pusat TEXMACO Group, penulis memergoki anggota Dewan itu tergopoh gopoh, buru buru turun ke Lobby menggunakan Lift di Lantai 10 gedung tsb. Sangat jelas, beyond any doubt, ia baru saja melakukan pertemuan khusus/penting dengan para petinggi TEXMACO di Lantai 10 SENTRA MULIA.
Draw your conclusion, simpulkan sendiri, kaitan antara kehadiran that fat bloke di Kantor Pusat TEXMACO dan keputusan akhir Sidang Komisi itu 3 Juli 2000. Jika bertemu lagi atau melihat foto ybs di buku anggota DPR/MPR, penulis dapat mengidentifikasi — siapa sebenarnya orang tinggi besar berpipi tambun itu, dan dari Fraksi Parpol besar yang mana pula dia. And he is NOT a Jawa ko’ek! Profil mukanya mirip Patih Gajah Mada, bukan tipikal Jawa. You guys know what I mean?
Di Draft buku TEXMACOGATE, bersumber kader senior PDIP Wong Sumatra Utara, penulis ungkapkan indikasi kuat apa yang kemudian disebut “Tim Penjinak Laks”, terdiri segelintir elit Fraksi Parpol gede dari terutama “Geng” etnis North Sumatrans. Don’t you guys ignore, Mr. Sinivasan lahir dan dibesarkan di Medan. Connect the dot.
Episode 3 Juli 2000 di Senayan itu, dan kaitannya derngan kehadiran anggota Dewan itu di Kantor Pusat TEXMACO sekitar10 –15 hari sebelum Sidang Komisi tsb, merupakan bagian DRAFT buku penulis berjudul sementara, TEXMACOGATE: DIRTY TRICKS “R” US! The Deception Continues, Aided By Dishonest Government Officials; the “Press-Whores”; and Crooked Lawmakers. Paling tidak empat media cetak terkemuka (Harian, Tabloid mingguan & majalah mingguan) di NKRI pernah menyoal “Skandal TEXMACO” selama periode 2000 – 2001. Selama 2002, mereka membisu!
Bagaimana tanggapan Pemimpin Umum/Wakil Pemimpin Umum, dan PemRed ke-4 media cetak kondang itu — terhadap Draft buku yang didukung narasumber internal, saksi, dan saksi ahli serta dokumen otentik tentang berbagai bentuk praktik KKN; intimidasi dan TEROR pisik terhadap beberapa “pentolan” buruh TEXMACO; dua aktivis Orsospol “Radikal Kiri” pembela hak buruh; dan Pengurus SPSI di Purwakarta? Seluruh Pem. Umum/Wakilnya dan PemRed media cetak terkemuka itu cuek bebek! Mereka SENGAJA memboikot upaya SAH pengungkapan “TEXMACOGATE” itu. Me, a lone nuts?
Apa yang memotivasi para jurnalis gaek itu sengaja memilih sikap membisu itu? Ada tiga kemungkinan: (1) Ketakutan luar biasa versus intimidasi para Pelindung elit TEXMACO; (2) mereka terkontaminasi oleh praktik suap (terkonfirmasi, ada upaya suap TEXMACO; baca di http://radio68H.or.id “Wartawan Mengembalikan Uang Suap dari TEXMACO” dan di “PIJAR” tentang “Makelar Makelar Ekonomi TEXMACO”); dan (3) takut “dilurug” LAGI oleh karyawan TEXMACO (kasus September 2000, atas Redaksi Harian kondang di Jakarta, menyusul berita-analis koran itu di rubrik Bisnis).
Inilah yang di A.S. disebut praktik tak terpuji di kalangan “mainstream media”, sebagai “swa-pemberangusan diri” vs. Whistleblowing sah — atas kasus kasus skandal besar yang diotaki kalangan Trans-National Corporations Barat, utamanya di Amerika.
Menyangkut kasus suap BPPN itu, Presiden Partai Keadilan Hidayat Nurwahid menyuarakan kegusarannya. Kepada reporter SCTV (Liputan Petang, Minggu, 29 September 2002), ia menyatakan kasus itu merupakan puncak gunung es (the tip of an iceberg) kasus suap lainnya, yang diyakini sudah membudaya di kalangan elit parpol di Senayan. Meskipun tidak seluruh anggota Dewan/Majelis berjiwa garong, DPR lebih tepat diartikan “Dewan Pendusta Rakyat”, “Dewan Pendusta nan Rakus”!
Maka, no wonder lah, sebagian besar petinggi PDIP – kecuali Kwik Kian Gie – “kebakaran jenggot”. Sebab, sekali lagi, manakala ada insan PERS yang masih punya nurani dan bernyali baja kemudian mengungkap tuntas kasus itu; bukan tidak mungkin bakal terbongkar kasus kasus suap lain — oleh pihak pihak selain BPPN — termasuk terhadap Komisi yang penulis sebut di depan, oleh GOD knows who.
Lantas, PERS mana pula yang masih dapat kita percaya? Tidak seluruhnya, tetapi persis yang berkembang di Amerika, sebagian kalangan media RI tidak lebih merupakan kumpulan “Media Circus”. FAKTA, ke-4 petinggi media cetak terkemuka NKRI irtu, yang SENGAJA bersikap cuek bebek terhadap Draft Buku TEXMACOGATE penulis.
Iri ‘kali mereka, sebab anak buah mereka – para reporters yang katanya jagoan – ternyata TIDAK MAMPU secara pro-aktif mengendus berbagai praktik KKN busuk, dan Pelanggaran HAM buruh di TEXMACO. Kok justru eks insider TEXMACO, si bekas diplomat mbeling ini yang menguaknya? Para jurnalis payah, bo.
Mereka pikir Penulis kini “mati kartu”, tidak telah “nembak” Draft itu ke pihak pihak lain di NKRI dan di manca negara? Salah besar Tuan Tuan! Sungguh pathetic dan moronic para jurnalis senior itu. Kelompok jurnalis gombal pendusta publik. “Pembela” wong cilik the voiceless, seperti mereka kecapkan selama ini, ternyata hollow claim yang awfully disgusting! Again, Dad was right: anak anakku JANGAN ada yang jadi wartawan!
Masih ingat pula, kasus “hedging” spekulasi main Valas (kerugian US$ 700 juta?) oleh sebuah bank pemerintah terkenal, menjelang akhir 1997? Seorang redaktur salah satu Harian terkemuka di Jakarta, sebut saja Polan, diberi dokumen otentik oleh Pejabat Senior BI tentang ketidak-beresan petinggi bank yang main Valas itu.
Saat itu, November 1997 – Februari 1998, harga kertas koran impor (dikuasai kartel) sedang menggila. Seluruh media cetak NKRI sekarat, kecuali yang pakai kertas cetak lokal dan Harian besar yang dibanjiri iklan grup bisnis besar. Muncul “ide gila”, dalam obrolan makan siang, terhadap informasi klasifikasi A-1 itu, “Kita dapat memperoleh Rp. 2 Milyar dari elit Bank **** itu!”. Penulis nyeletuk, “Minta saja (kepada petinggi bank itu) stock kertas cetak enam bulan!” (Ya tahu, wong Penulis anaknya bekas publisher, bo).
Lalu timbul sedikit kericuhan internal, lebih dari satu Reporters secara terpisah mendatangi petinggi bank itu, dalam rangka cek-ricek kasus spekulasi Valas tsb. Akhirnya disepakati, di dalam rapat redaksi Proyeksi Berita dan/atau Newsbugeting, kasus besar itu perlu diekspos dalam Headline (di majalah, COVER STORY atau Laporan Utama).
Menjelang SU MPR terakhir era Pak Harto, kasus besar tersebut siap diangkat di Headline koran tsb. Mungkin ada “bisikan dari langit”, sebelumnya Tuan Polan sudah memberikan fotokopi dokumen otentik dari BI itu, kepada mitranya seorang redaktur satu majalah mingguan kondang skala nasional.
Singkat ceritera, satu malam, Tim Redaksi koran besar itu sudah menyelesaikan tugas akhirnya (pra-cetak). Materi headline siap cetak (deadline cetak, sudah SOP, pk. 00.10 WIB). Apalacur, sekitar 23.00 WIB, seseorang – barangkali Redaktur Eksekutif – mendapat an urgent call Big Boss koran itu. Perintahnya singkat, “Batalkan headline!”.
Same, old story among some crooked media tycoons in the USA. Swa-bredel diri. Beberapa bulan kemudian, masih dalam sitkon Krismon melilit industri jasa media cetak, penerbit koran itu mampu meluncurkan tabloid mingguan baru. Dana dari mana? YAKUZA atau dari Bank “anu” itu? Ternyata …….. I really feel sorry for this chap.
Sia sia swa-berangus diri itu, sebab majalah mingguan kawan Polan itu, beberapa minggu kemudian meng-expose kasus permainan Valas itu dalam Laporan Utamanya. Damn smart Polan, telah berbagi the only photocopy dokumen otentik itu. Bukan tidak mungkin pula, ke-4 petinggi media cetak terkemuka di atas (yang Penulis beri Draft TEXMACOGATE), kini memanfaatkannya pula untuk memeras elit TEXMACO, sebagai upaya busuk klasik “tahu sama tahu”. This author trusts NO more such Press-Whores.
Ngga’ percaya, kalau praktik memeras pebisnis kakap dilakukan juga oleh insan bisnis jasa informasi (digital-online maupun cetak)? Juni 2002, Penulis diberitahu seorang pebisnis jasa khas (bukan media cetak) di Jakarta, kawannya yakni wartawan tabloid sekaligus pengelola Website “panas” pembongkar praktik KKN telah nodong boss TEXMACO. Menurut nara sumber Penulis itu, Tabloid & Website wartawan itu berniat mengekspos (lagi) “Skandal TEXMACO”. Entah kasus baru yang mana, dan siapa pula narasumbernya, Penulis bertanya tanya sampai detik ini.
Menurut narasumber yang jasa khasnya laku keras itu, wartawan tabloid terkenal itu (kini nampaknya tidak terbit, tinggal yang Online) membatalkan NIAT membeberkan (lagi) Skandal TEXMACO; setelah ybs mendapat “hadiah” mobil Landcruiser dari big boss TEXMACO. Bukan tidak mungkin, wartawan itu juga mendapat “hadiah” sejumlah dana (minimal Rp. 200 juta) dari pebisnis kakap yang diperasnya itu.
Sebab, aneh bin ajaib dapetin dana segar dari Situs Purbakala yang mana, ujug ujug jurnalis mata duwitan itu mampu membangun bisnis WARNET di Selatan Jakarta (bukan Jakarta Selatan). Sanggupkah anda membangunnya, hanya dengan dana Rp. 150 juta? No way, man! WARNET kelas sepoor klutuk dengan “pulsa” kuda, ya mampulah!
NKRI memang negeri penyamun dan maling. Banyak PNS & Non-PNS berjiwa maling, ada pula segelintir wartawan berjiwa pelacur, dan tidak sedikit yang berjiwa serupa di kalangan elit Parpol besar dan kecil — di dan di luar Senayan.
Ndak percaya? Baca laporan terkini BPK bulan ini, berapa Trilyun rupiah dana negara yang ditilep garong di kalangan PNS. Silahkan baca pula, revisi ke-4, Opini Penulis INDONESIAKU: NEGERI PENYAMUN DAN MALING, Surat Terbuka Kepada Y.M. Presiden Hj. Megawati Soekarnoputri. Megawati dan suaminya, TK, telah Penulis kirim Opini tersebut, Sabtu petang, 24 Agustus 2002.
Reaksi mereka? BIG ZERO. Cuek bebek pula. Kecuali, surat rahasia Penulis kepada beliau disabot salah satu staf Presiden NKRI dan/atau asisten TK di Rumah Dinas Presiden RI di Jalan Teuku Umar No. 27A, Menteng. Sebab ketika surat tsb Penulis antarkan sendiri ke alamat itu, Presiden dan TK sedang menghadiri latihan perang TNI AL di Perairan Laut Jawa. Sungguh tidak masuk akal salah satu asisten terdekat presiden dan suaminya, apalagi seorang ajudan, telah berbuat jahat menyabot surat pribadi Penulis.
Atau memang SOP, di kalangan “inner circle” (lebih lebih dari unsur non-sipil) seluruh Presiden RI, yaitu HARUS MENYABOT seluruh surat pribadi warganegara kepada presidennya? Tak kampleng tenan, kalau Penulis tahu pelakunya! Tapi, sekali lagi, sungguh mustahil seorang AJUDAN melakukan tindakan tercela macam itu.
Berbeda dengan para ajudan Presiden Soeharto, yang merupakan Pamen pilihan selektif beliau sendiri (di-groom jadi calon pemimpin TNI/TNI AD, bahkan menjadi Wapres), nampaknya salah satu adjudan Presiden Megawati sengaja dipasang (bukan oleh Presiden Megawati) untuk “mengawasi” dari dekat “manuver” Megawati dan TK. Is this the case? Embuh, ora ngerti aku.
Simak kengototan Megawati mendukung Sutiyoso menjabat lagi Gubernur DKI. Megawati tersandera TNI? Siapa yang telah nodong Megawati? Take the presidency, Your Excellency; cuma sampai 2004 saja, ya? ‘kali itu deal-nya.
Kindly refer to my INDONESIAKU: NEGERI MALING. Banyak kalangan Wong Cilik di Jabotabek, juga di Jawa Tengah, sudah capek berat punya presiden wong sipil. Mereka merindukan era Pak Harto, sitkon gampang cari uang, aman, dsb. Some people agree, next president seyogyanya eks jenderal TNI (lagi) saja. SBY kah?
Kembali pada kasus suap oleh BPPN di depan dan indikasi sangat kuat praktik suap lain oleh elit TEXMACO, the TRUTH shall prevail. Sejauh menyangkut TEXMACOGATE, tunggu tanggal mainnya Insya’allah. Penulis “dilenyapkan” pun tidak akan menghentikan proses expose draft buku itu – yaitu oleh pihak “independent invesigators” non-print media NKRI dan di manca negara.
Penulis akan tambahkan di dalam Draft Buku TEXMACOGATE, nama empat media cetak dimaksud. Sebab mereka sengaja menutup mata dan telinga terhadap “Skandal TEXMACO”. Skandal megatrilyun rupiah, yang melibatkan tidak cuma praktik suap, KKN, penipuan atas konsumen, “Mark Up” costs & komponen, dll – melainkan juga unsur baru pelanggaran HAM terhadap buruhnya, aktivis SPSI, orsospol “pembela” keterpurukan kaumburuh dhuafa (baca: TEROR pisik!).
SAY THE THE TRUTH, NOTHING BUT THE TRUTH! Kalau elit PDIP tetap bersikap Asal Ibu Senang, justru mengintimidasi kadernya yang berani mengungkapkan praktik suap; maka bersiaplah tangisan kucing menyaksikan “Banteng Beri Beri” masuk kotak pada PEMILU 2004. Mayoritas unsur bangsa besar (tapi keropos) ini, kaum buruh dan tani dhuafa (did I sound a bit Komunistik? C’mon, man; read my previous Postings), mereka DO NOT NEED Banteng Loyo lagi yang udeh lupe daratan.
Tuan Tuan, Nona Nona dan Ibu Ibu besar di PDIP (nyuwun ngapunten, Pakde Tardjo) catat ini: “Mas Yusuf, wis PDIP bakal kalah 2004. Sebab ORA mikiri wong cilik. Lha piye, digawekke dalan karo Pak Harto bae, ora becus ngopeni!” (sebagian di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta); “Pak, kite tidak mau nyoblos PDIP lagi, dll. Bohong semua! Kite mau GOLPUT aje! (sebagian Jabotabek, termasuk Bogor).
Turbalah kalian, selama reses, naik bis bis PATAS atau antarkota/antarpropinsi TANPA AC. Jelajahi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat, yang kini meranggas, kering kerontang — mau b****k pun susah cari air bersih! STOP politicking kalian di Jakarta, cengengesan di lobi lobi 5-Star hotels, makan steak dan dimsum melototin cewek cewek muda-stw sintal pula! Seporsi imported steak yang kalian lahap (<Rp. 100 ribuan), cukup untuk menghidupi satu keluarga di desa desa wilayah itu selama 20 hari!
How DARE you people, ngecap terus bicara soal moralitas! Lihat pula barak barak POLRI/Brimob/TNI – pengap, setiap hari bini dan anak anak mereka jadi mangsa nyamuk! Kalian? Molor, cengengesan, di Rumah Dinas Kalibata yang ber-AC, GRATISAN! Ngga’ bayar Pajak Pendapatan Pribadi pula! Gitu kok ‘brani ‘braninya gemagus, cengengesan, menepuk dada melulu sebagai Wakil Rakyat! Sungguh pathetic kalian (tidak seluruhnya lah, yang bernurani masih ada – cuma, some are gagu dan bahkan bisu).
Wassalam.
Yusuf bin Jussac