KEJAHATAN TEXMACO YANG DIABAIKAN MARZUKI DARUSMAN


(POLITIK): Marzuki Darusman akan diganti karena, salah satunya,
membebaskan Sinivasan. Penggantinya: Baharudin Lopa, penegak hukum
yang keras. Ini ancaman bagi Texmaco.

Dari Istana ada kabar, Jaksa Agung Marzuki Darusman akan diganti.
Penggantinya adalah Prof Dr Baharudin Lopa SH, orang Bugis yang keras.
Lopa, mantan Dirjen Pemasyarakatan dan mantan anggota Komnas HAM itu
kini tengah bertugas sebagai Dubes RI untuk Arab Saudi. Presiden
Abdurrahman Wahid, menurut informasi itu, sempat meminta pertimbangan
Hamzah Haz, Ketua Umum PPP. Hamzah setuju Marzuki diganti Lopa. Belum
diketahui, apa reaksi Golkar. Namun, pasti bakal ramai.

Mengapa Marzuki diganti? Salah satunya berkaitan dengan penerbitan
surat penghentian penyidikan untuk Marimutu Sinivasan dalam kasus
mega-korupsi Texmaco. Dari bukti-bukti yang terkumpul, Sinivasan
sebenarnya tidak punya peluang untuk lolos. Nah, untuk mengungkap
kembali kejahatan-kejahatan Sinivasan dalam kasus korupsi itu, Xpos
menelusuri kembali penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan Texmaco
dalam kasus pengucuran kredit ekspor preshipment itu, ditambah
bukti-bukti baru yang berhasil dikumpulkan Xpos.

Texmaco menerima fasilitas kredit ekspor preshipment bersama 20
pengusaha lainnya. Lazim dalam urusan ekspor, Bank Indonesia membantu
eksportir dengan fasilitas kredit ekspor postshipment. Postshipment
artinya barang yang hendak diekspor sudah berada di kapal dan siap
dilayarkan ke negeri tujuan. Hasil ekspor itu kemudian beralih haknya
ke BI. Ini yang namanya jual beli devisa. Namun, ketika terjadi
krisis, Texmaco benar-benar butuh uang. Kredit yang diperolehnya dari
BI periode September-November 1997 sebesar US$276 juta, berupa bantuan
likuiditas, belum cukup untuk menutup kebutuhan grup.

Pinjaman itu hanya cukup untuk membayar utang jangka pendek Texmaco
Grup berupa comercial paper dan yankee bond. Para kreditor asing yang
sudah sepakat memberi pinjaman ke Texmaco membatalkan niatnya karena
krisis keuangan di Indonesia. Itu yang bikin Sinivasan pusing. Lalu
bagaimana? Nah, pada saat yang bersamaan, BI, Departemen Keuangan dan
Departemen Perdagangan dan Industri tengah mengodok fasilitas wesel
ekspor preshipment untuk membantu para eksportir. Singkatnya, wesel
ekspor preshipment diluncurkan dan Texmaco bisa menikmatinya.

Nah, fasilitas kredit ekspor preshipment ini tak lazim, karena yang
dijaminkan adalah ekspor yang belum dikapalkan, bahkan belum
diproduksi. Dalam kasus Texmaco, grup ini mengajukan permohonan kredit
pada 1997 untuk ekspornya tahun 1998. Dengan cara ini, Texmaco bisa
menggelembungkan perkiraan ekspornya dari US$169 juta pada 1997 jadi
US$616 juta pada 1998, atau naik sebesar 260 persen. Perkiraan ekspor
senilai US$616 juta itulah yang “dijual” ke BI untuk mendapatkan wesel
diskonto sebesar US$754 juta dan Rp1,9 triliun.

Texmaco menerima pinjaman tahap pertama, periode September-November
1997, dan ternyata masih butuh banyak kredit, terjadi pembicaraan
serius. Awal hingga pertengahan Oktober 1997 dilakukan pembahasan
secara intensif yang melibatkan Direksi Bank Indonesia, Deperindag,
Direksi BNI dan Direksi Texmaco Grup untuk mendapatkan berbagai
alternatif pembiayaan.

Kemudian disepakati dengan cara pendiskontoan wesel ekspor
preshippment dan kemudian akan diresdiskonto oleh BI dengan
menggunakan cadangan devisa. Berdasarkan catatan 14 Oktober 1997
disimpulkan, adanya indikasi bahwa ketentuan wesel ekspor preshippment
memang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan Texmaco Grup.

Lalu, pada 28 Oktober 1997, Kepala urusan luar negeri (ULN), BI
meminta Bank BNI agar mengajukan permohonan fasilitas rediskonto untuk
Texmaco Grup. Surat tersebut ditindaklanjuti Bank BNI pada tanggal 29
Oktober 1997, keesokan harinya. Jadi prosesnya memang top down. Pada
30 Oktober 1997, atau dua hari kemudian keluar rekomendasi Memperindag
kepada tiga grup perusahaan, termasuk Texmaco, yang ditujukan pada
Gubernur BI agar grup-grup perusahaan itu diberi fasilitas penjualan
wesel ekspor preshippment. Namun, surat rekomendasi yang diterbitkan
tidak dijumpai pengajuan fasilitas dari dua grup perusahaan lainnya.
Jadi ada kecurigaan, hanya Texmaco Grup yang ditolong.

Pada 4 November 1997 Direksi BI mengeluarkan SK Direksi Nomor
30/132/KEP/DIR tentang fasilitas rediskonto wesel ekspor preshipment.
Ini aneh, karena sebelum SK tentang preshipment ini terbit, namun
Direksi BI melalui ULN-BI telah memberikan persetujuan pemberian
fasilitas rediskonto preshipment pada Texmaco Grup pada 30 Oktober
1997. Tak lama kemudian, yakni 5 November 1997 ULN-BI menerbitkan SE
Nomor 30/29/ULN tentang devisa hasil ekspor yang akan datang. Pada
saat yang bersamaan fasilitas rediskonto Texmaco Grup melalui Bank BNI
sebesar US$276 juta dolar Amerika disetujui. Jumlah itu sebesar 48
persen dari total rencana ekspor 1998 sebesar US$616 juta. Mepetnya
waktu antara permohonan dan pencairan ini, membuat BNI tak punya waktu
meneliti keabsahan sejumlah dokumen Texmaco.

Pinjaman ke Texmaco mengalir lagi antara Desember 1997-Januari 1998.
Total sebesar US$340 juta. Kendati sudah menerima kucuran dana,
sebelum Natal 1997, Bank BNI menyatakan Texmaco kemungkinan akan
terkena cross default (gagal membayar utang ke berbagai pihak). Agar
tidak terkena cross default BI melakukan penempatan deposito
(placement deposit) sebesar US$100 juta dolar di Bank BNI. Dana
tersebut digunakan Texmaco untuk membayar utang-utangnya, padahal ada
larangan placement deposit BI diperuntukkan pihak ketiga. Jadi hanya
dengan kasus ini saja, Texmaco dan BI bisa dikenai tuduhan penggelapan
bahkan korupsi.

Nasib Texmaco memang lagi mujur. Setelah banjir kucuran kredit itu,
pada 29 Desember 1997 Sinivasan mengirim surat ke Presiden Soeharto.
Isinya, meminta bantuan agar diberi fasilitas 100 persen fasilitas
wesel rediskonto preshippment namun mengunakan syarat postshipment
yang tak terkena batas maksimum pelanggaran kredit di bank pemberi
kredit. Keesokan harinya, 30 Desember 1997, Soeharto memberi disposisi
ke Sekneg agar menyelesaikan kesulitan Texmaco. Disposisi itu
disampaikan ke Sudradjad Djiwandono, Gubernur BI kala itu, yang
menghasilkan kucuran kredit rediskonto preshipment lewat BNI sebesar
US$340 juta.

Jadi, total fasilitas diskonto yang diterima Texmaco Grup melalui Bank
BNI hingga 15 Januari 1998 sebesar US$616 juta. Lagi-lagi, kendati
sudah dapat pinjaman sebesar itu, Texmaco masih kekurangan uang juga.
Pada 12 Februari 1998, Sinivasan mengirim surat ke Sudradjad, isinya:
Texmaco Grup masih mengalami kesulitan dana untuk menyelesaikan
proyek-proyek padat modal di Subang, Jawa Barat.

Tampaknya, Dradjad tak memberi reaksi pada surat itu, karena pada 23
Februari 1998 Sinivasan mengirim surat langsung ke Suharto meminta
tambahan kredit sebesar US$200 juta melalui Bank BRI dan Rp450 miliar
melalui Bank BNI untuk modal kerja. Esok harinya, Suharto menurunkan
disposisi ke Sekretariat Negara, meminta agar BI mencairkan kredit
yang diminta Sinivasan. Dradjad menyerah dan akhirnya mencairkan
kredit yang diminta Sinivasan itu.

Pada 12 Maret 1998, BI mencairkan kredit itu melalui placement
deposito sebesar US$40 juta dan fasilitas SPBU khusus tanpa lelang
sebesar Rp1 triliun atau sekitar US$100 juta dolar Amerika. BI juga
memberi rediskonto preshipment sebesar Rp450 miliar melalui Bank BNI
dan Bank Ekspor Impor. Kendati sudah menerima kredit sangat besar,
hasil ekspor Texmaco tidak seperti yang diperkirakan. Awal Juni 1998,
BNI meminta BI agar fasilitas rediskonto preshippment Texmaco
diperpanjang dengan alasan grup itu mengalami penurunan kinerja.
Sinivasan pun meminta Dradjad agar diberi dispensasi dengan jalan
mencicil kreditnya itu sebesar US$5 juta dolar sebulan. Permintaan
cicilan cara ketengan ini disetujui BI.

Antara SBI dan SPN


Oleh TAUFIK HIDAYAT
PADA beberapa waktu yang lalu Bank Indonesia telah membuat berbagai kalangan menjadi sangat terkejut dengan lontaran rencana besar yang “terkesan” mendadak untuk menghapus Sertifikat Bank Indonesia (SBI) jangka waktu 3 (tiga) bulan. Keterkejutan tersebut tidak saja dirasakan oleh Menteri Keuangan, tetapi juga dirasakan oleh anggota DPR RI dan bahkan para pengamat ekonomi dan keuangan.
Hal ini di antaranya muncul karena adanya kekhawatiran terjadinya kekosongan instrumen investasi jangka waktu tiga bulan. Oleh karena itu sebagian pihak ada yang berpendapat bahwa penghapusan tersebut seharusnya dilakukan secara bertahap sambil memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk menyiapkan penerbitan Surat Perbendaharaan Negara (SPN). Namun demikian, ada juga sebagian pihak yang tidak mempermasalahkan rencana Bank Indonesia tersebut. Hal ini didasari oleh best practice bahwa pengelolaan utang di pasar uang seharusnya dilakukan oleh pemerintah.
Selama ini SBI jangka waktu tiga bulan digunakan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen untuk melakukan operasi moneter. Langkah ini dilakukan Bank Indonesia guna menjaga stabilitas moneter, yaitu untuk memelihara jumlah peredaran uang di masyarakat pada tingkat yang dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia selaku otoritas moneter. Pada saat ini sebenarnya peranan SBI jangka waktu tiga bulan sebagai alat operasi moneter sudah dirasakan tidak lagi signifikan karena kurang diminati oleh pasar dibandingkan dengan SBI jangka waktu satu bulan.
Per 21 Februari 2006 tercatat bahwa jumlah SBI yang berhasil dilelang oleh Bank Indonesia mencapai besaran Rp 123,6 triliun dengan rincian sebesar Rp 116,5 triliun (94,26%) berupa SBI jangka waktu satu bulan dan sebesar Rp7,1 triliun (5,74%) lainnya dalam bentuk SBI jangka waktu tiga bulan (Bisnis Indonesia, 23/2/2006). Namun demikian sebagai instrumen investasi, SBI jangka waktu tiga bulan masih sangat diharapkan kehadirannya sebagai benchmark tingkat suku bunga jangka waktu tiga bulan.
Industri perbankan dan sektor jasa keuangan secara keseluruhan sangat bergantung kepada SBI tiga bulan sebagai acuan dalam menetapkan tingkat bunga yang akan dikenakan kepada masyarakat (baca: counter rate). Demikian juga sektor pasar modal, khususnya untuk produk obligasi dan instrumen fixed income lainnya juga menjadikan SBI jangka waktu tiga bulan sebagai acuan dalam menetapkan tingkat bunga (coupon). Bahkan dalam pasar modal SBI jangka waktu tiga bulan dapat dijadikan sebagai patokan tingkat bunga yang paling aman (risk free rate). Jika dilihat dari sisi ini saja sangat beralasan mengapa banyak pihak yang merasa “kehilangan” dengan rencana akan dihapuskannya SBI tersebut, walaupun sebenarnya Bank Indonesia juga sudah mengeluarkan BI rate.
Wacana mengenai penghapusan SBI jangka waktu tiga bulan mereda setelah Gubernur Bank Sentral menyatakan akan menunda penghapusan SBI jangka waktu tiga bulan sampai dengan pemerintah telah benar-benar menyiapkan penerbitan Surat Perbendaharaan Negara. Padahal pada sisi lain pemerintah menyatakan bahwa penerbitan SPN merupakan program jangka panjang (Bisnis Indonesia 21/2/2006). Lantas bagaimana kelanjutan dari alternatif pilihan antara penghapusan SBI dan penerbitan SPN, hanya waktu yang akan memberi penjelasan yang pasti.
Karakteristik SPN
SPN merupakan surat utang dengan masa jatuh tempo sampai dengan satu tahun. Sebenarnya sejak beberapa tahun yang lalu pemerintah telah mempunyai kesempatan untuk menerbitkan SPN karena telah diatur dalam UU Surat Utang Negara. Namun demikian karena sifat utangnya yang jangka pendek maka mekanisme penanganannya memang menjadi cukup rumit. Dalam hal ini pemerintah setiap saat dituntut untuk selalu memperhitungkan arus kas (cashflows) penerimaan dan pengeluaran pemerintah sehingga jumlah kebutuhan dana jangka pendek dan juga kewajibannya dapat terpenuhi melalui mekanisme pengeluaran SPN.
Selain itu, departemen keuangan sebagai pengelola utang negara juga perlu untuk mempersiapkan infrastruktur kelembagaan yang secara khusus menangani penyelenggaraan perdagangan SPN. Mudah-mudahan jika nantinya sudah terbentuk lembaga baru di Departemen Keuangan yang secara khusus bertugas untuk menangani manajemen dan pengelolaan utang negara maka harapan agar pemerintah segera merealisasikan penerbitan SPN dapat segera terlaksana.
Bagi pemerintah, penerbitan SPN ini akan sangat bermanfaat bagi keuangan negara karena dapat dijadikan sebagai sumber pembiayaan jangka pendek, seperti halnya untuk melakukan refinancing Surat Utang Negara yang akan jatuh tempo. Selain itu, dalam skala yang lebih luas, maka seperti halnya yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat adalah menjadikannya sebagai salah satu instrumen fiskal dalam pembiayaan belanja negara, terutama pada saat terjadi defisit anggaran. Mengenai kekhawatiran tentang beban bunga yang harus ditanggung oleh pemerintah sebenarnya bukan menjadi masalah yang berarti karena selama ini pun dengan menggunakan SBI sebagai instrumen moneter maka pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia, juga telah mengeluarkan beban serupa. Bagi pemerintah, pengeluaran beban bunga akibat pengalihan instrumen dari SBI ke SPN dapat diibaratkan hanya pengalihan pengeluaran beban dari saku kiri ke saku kanan.
Hingga saat ini memang belum ada gambaran jelas mengenai bagaimana bentuk SPN yang nantinya akan dikeluarkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, mari kita melihat Treasury Bills atau yang biasa dikenal dengan istilah T-Bills (baca: SPN) yang telah dilaksanakan di negara lain.
Seperti halnya surat utang lainnya, T-Bills mempunyai beberapa ciri pokok, yaitu masa jatuh temponya (maturity periode), tingkat bunga, pembayaran kembali nilai pokoknya dan daya jualnya di pasar. Sebagai instrumen surat utang jangka pendek, maka masa jatuh tempo T-Bills adalah berkisar antara satu bulan sampai dengan 12 bulan.
Berhubung tingkat bunga T-Bills dijadikan sebagai benchmark dalam penetapan tingkat bunga di pasar uang maupun pasar modal, maka penentuan tingkat bunganya tidak bersifat stand alone policy, melainkan harus secara akurat dikaitkan dengan kebijakan lain di bidang fiskal maupun moneter. Selain itu juga harus memperhitungkan variabel-variabel ekonomi makro serta perkembangan regional maupun global. Namun demikian, secara empiris penetapan tingkat bunga T-Bills didasarkan pada estimasi tingkat inflasi (expected rate of inflation) yaitu dengan margin tertentu di atas estimasi tingkat inflasi. Jika dengan memperhitungkan tingkat inflasi dan pajak, tingkat pengembalian (return) riil atas T-Bills menjadi sangat rendah. Bahkan berdasarkan data perolehan T-Bills di Amerika Serikat dalam periode 1969-1994 ternyata justru menunjukkan tingkat pengembalian yang negatif, yaitu sebesar minus 1,5%.
Secara teknis pemberian bunga T-Bills kepada para pemegangnya dilakukan melalui pemberian diskon langsung. Hal ini sangat mirip dengan pemberian bunga pada sertifikat deposito. Sebagai ilustrasi, suatu T-Bills yang mempunyai nilai nominal Rp 1 miliar dengan masa jatuh tempo tiga bulan dan dengan tingkat bunga 12,8 persen per tahun, maka harga jual T-Bills tersebut merupakan present value dari nilai nominalnya. Dengan kondisi demikian, harga T-Bills yang harus dibayar oleh investor adalah sebesar Rp 968.992.248. Untuk kepentingan pencatatan, tingkat bunga T-Bills disajikan dalam bentuk discounted rate. Dari ilustrasi di atas maka nilai diskonnya adalah sebesar Rp 31.007.752 sehingga tingkat bunga efektifnya adalah sebesar 3,10 persen per tiga bulan atau sebesar 12,40 persen per tahun.
Penerbitan T-Bills memperoleh jaminan penuh dari pemerintah sehingga para investor mempunyai “kepastian” untuk memperoleh kembali nilai pokok investasinya pada saat jatuh temponya. Karena adanya jaminan pemerintah tersebut instrumen investasi tersebut tergolong dalam kategori yang mempunyai risiko gagal bayar (default) yang sangat kecil, kalau tidak bisa dikatakan sebagai tidak mempunyai risiko. Karena alasan ini pula, maka T-Bills disebut sebagai instrumen investasi yang bersifat risk-free atau default-free.
Seperti halnya SBI, instrumen T-Bills juga ditransaksikan melalui mekanisme lelang. Sedangkan untuk SPN belum ada informasi mengenai mekanisme yang akan dipakai sebagai sarana transaksi. Namun demikian, dengan menilik pengalaman yang dilakukan pemerintah dalam mengeluarkan Surat Utang Negara atau Obligasi Negara selama ini maka dapat diperkirakan bahwa mekanisme lelang akan menjadi pilihan pemerintah dalam menerbitkan SPN.
Berdasarkan pengalaman empiris, T-Bills tergolong sebagai instrumen investasi yang sangat likuid dan mudah untuk ditransaksikan. Karena alasan ini pula mengapa banyak investor, fund manager perusahaan asuransi dan dana pensiun maupun perbankan yang mengalokasikan dana jangka pendeknya dalam bentuk T-Bills. Oleh karena itu, instrumen investasi ini dikelompokkan dalam kategori marketable securities.
Prospek SPN
Rencana peralihan dari SBI jangka waktu tiga bulan kepada SPN pada saatnya tentu akan memperoleh sambutan hangat dari para investor, terutama investor institusi seperti halnya perusahaan-perusahaan asuransi, dana pensiun, fund manager, maupun industri perbankan dan jasa keuangan lainnya. Dengan adanya SPN, para investor akan mempunyai tambahan alternatif instrumen investasi yang dapat dijadikan sebagai pilihan dalam portofolionya. Dengan demikian, dinamika pasar uang maupun pasar modal akan semakin terdorong secara lebih signifikan.
Sebagai instrumen investasi jangka pendek, investor memang “tidak terlalu” berharap memperoleh tingkat pengembalian yang tinggi. Walaupun selain memperoleh tingkat bunga juga kemungkinan memperoleh capital gain dari transaksi di pasar sekunder, tetapi alokasi investasi pada instrumen ini lebih dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas. Hal ini dapat tercermin dari minat investor yang lebih menyukai SBI jangka waktu satu bulan dibandingkan dengan yang mempunyai jatuh tempo tiga bulan.
Bagi para pelaku di pasar modal, SPN sebagai instrumen investasi yang risk free akan sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai benchmark dalam pengukuran tingkat pengembalian (return) portofolionya. Selain itu, sebagai alat pengukuran SPN akan dijadikan sebagai dasar dalam pembentukan Capital Market Line (CML), Security Market Line (SML), sebagai dasar pengukuran tingkat risiko portofolio, sampai kepada dasar bagi transaksi dalam instrumen derivative, baik dalam bentuk put, call, forward maupun futures.